TUGAS 9B
Judul Jurnal : Budaya Tutur Bahasa
Indonesia dan
Kontribusinya Bagi Pendidikan Etika di
Sekolah Dasar
Penyusun :
Sukatman, FKIP Universitas Jember
Nuanza-Ok.blogspot.com
Foto diambil dari internet
Abctract
In a
language needs to
consider certain things
that are common
rule language, namely (1)
setting and atmosphere
of the talks,
(2) who is
the speaker participants ,
(3) a clear
discussion purposes, (4)
the order, rule,
or turn speech,
(5) appropriate subject, (6)
tool or speech
channels are used,
(7) norms or
manners prevailing in the society, and (8) appropriate various languages . There are a number of cultural
foundation of speek in Indonesian that needs to be adhered to be a polite
speech communication. The basic
rule in question
is (1) an
open and friendly
attitude, (2) consideration of
taboo language, (3)
the use of
scientific language, (4)
refining the language (euphemism),
(5) the use of special
normative expression, (6)
the use of pronouns
correctly, (7) the
choice of words
which are smoother,
and (8) the
use of appropriate body language.
Culture of said in Indonesian language needs to be taught in primary schools as
a means of ethical education
Abstrak:
Dalam berbahasa perlu me
mpertimbangkan hal-hal tertentu yang merupakan kaidah umum
berbahasa, yaitu (1)
seting dan suasana
pembicaraan, (2) siapa
peserta wicaranya, (3) tujuan
pembicaraan yang jelas,
(4) urutan, aturan,
atau giliran wicara,
(5) topik
pembicaraan sesuai, (6)
alat atau saluran
wicara yang digunakan,
(7) norma
atau sopan
santun yang berlaku di
masyarakat, dan (8) ragam
bahasa yang tepat. Ada sejumlah
budaya tutur dasar
BI yang perlu
dipatuhi agar tuturan
komunikasi terasa sopan. Aturan
dasar yang dimaksud
adalah
(1) sikap
terbuka dan bersahabat,
(2) pertimbangan tabu
bahasa,
(3) penggunaan
bahasa ilmiah,
(4) penghalusan
bahasa (eufemisme),
(5) penggunaan
ungkapan normatif khusus,
(6) penggunaan pronomina secara tepat,
(7) pemilihan
kata yang bernilai
rasa lebih halus, dan
(8) penggunaan bahasa tubuh
secara tepat. Budaya
tutur bahasa Indonesia
perlu diajarkan di
sekolah dasar sebagai sarana pendidikan etika.
Kata kunci:
budaya tutur, bahasa Indonesia,
pendidikan etika
PENDAHULUAN
Etika bahasa
adalah suatu kaidah
normatif penggunaan bahasa
yang merupakan pedoman umum dan
disepakati oleh masyarakat pengguna bahasa bahwa cara yang demikian itu diakui
sebagai bahasa yang
sopan, hormat, dan
sesuai dengan tatanilai
yang berlaku dalam masyarakat bahasa
yang bersangkutan. Dalam
konteks berbahasa Inggris
Gumpersz dan Hymes, (1972)
menemukan aturan umum
berbahasa secar a baik.
Apabila seseorang berbahasa perlu
mempertimbangkan hal-hal tertentu,
yaitu (1) seting
dan suasana pembicaraan, (2)
siapa peserta wicaranya
(orang pertama, kedua,
atau bahkan ketiga),
(3) tujuan pembicaraan yang
jelas, (4) urutan, aturan, atau
giliran wicara (cara menyela secara benar), (5) topik pembicaraan sesuai, (6) alat atau saluran
wicar a yang digunakan (telepon, surat, telegram dan sebagainya mempunyai aturan tersendiri), (7) norma atau sopan santun berbahasa yang
berlaku di masyarakat bahasa yang bersangkutan, dan (8) ragam bahasa yang tepat (resmi, santai,
ilmiah, dan sebagainya).
Hymes (1972)
membuat akronim tentang
santun berbahasa tersebut
di atas dengan
SPEAKING . Maksudnya
adalah sebagai berikut:
S (etting and Scene)
(situasi wicara/berbahasa)
P (articipants)
(peserta)
E (nds) (purpose and
goal) (tujuan)
A (ct sequences)
(urutan wicara)
K (ey) (tone or
spirits of act) (nada wicara)
I (nstrumentalities)
(alat atau salluran wicara)
N (orms (of
interaction and interpretation) (norma atau aturan)
G (enres (bentuk dan
ragam bahasa)
Prinsip dasar
wicara tersebut perlu
dipatuhi oleh seseorang
dalam wicara agar
wicaranya berjalan
dengan baik, sopan,
dan tidak menimbulkan
kesalahpahaman. Pembicaraan
di kantor, pasar,
rumah sakit, masjid,
kampus, dan sebagainya
akan mempengaruhi perbedaan penggunaan bahasa. Suasana sedih,
senang, santai, resmi, marah, takut,
dan sebagainya juga
mempengaruhi penggunaan bahasa.
Jadi, seting dan
suasana pembicaraan menuntun pewicara
untuk memilih dan
menyesuaikan ragam bahasa
yang sesuai. Siapa partisipan
yang diajak wicara menentukan pilihan kata sapaan dan ragam tutur. Faktor penentu
pemilihan bahasa dari
segi partisipan tersebut
dapat berupa umur,
jabatan organisasi, silsilah keluarga,
status sosial, pendidikan,
dan bahkan ada
gejala tingkat kekayaan juga
mempengaruhi pilihan kata dalam berbahasa. Tujuan pembicaraan
berhubungan erat dengan
pilihan ragam bahasa.
Tujuan tutur mendidik, merayu, memarahi, meminta
tolong, menyanjung, dan
sebagainya, tiap kegiatan tersebut mempunyai pilihan kata yang
berbeda. Dalam sebuah percakapan antara
dua orang atau lebih ada aturan cara membuka percakapan, kapan harus berbicara
(giliran wicara), cara menyela, dan cara menutup percakapan, secara baik. Suasana pembicaraan seperti marah, merayu,
bahagia, sedih dan sebagainya menjadi pertimbangan dalam
memilih kata atau
ragam bahasa yang
sesuai. Penggunaan alat komunikasi, seperti telepon, surat,
telegram, faksimile, dan sejenisnya juga menentukan cara dan ragam
bahasa yang dipergunakan.
Norma sosial yang
berlaku di masyarakat
seperti agama dan kesukuan
berpengaruh terhadap etika
bertutur sapa. Selanjutnya,
penutur perlu mempertimbangkan ragam
bahasa yang digunakan,
sesuai dengan kebutuhan;
misalnya: ragam santai, ragam resmi, ragam usaha (konsultatif), ragam
beku (upacara, undang-undang), dan ragam
akrab. Aturan tersebut jika
dilanggar akan memberikan kesan bahwa pembicara tertentu dikesani
tidak sopan. Aturan
di atas berlaku
pula dalam sopan
santun berbahasa
Indonesia, dan
merupakan prinsip umum.
Kaidah
Tutur
Secara khusus,
ada sejumlah aturan tutur dasar
BI yang
perlu dipatuhi agar tuturan komunikasi terasa
sopan. Aturan dasar yang
dimaksud adalah
(1) sikap
terbuka dan bersahabat,
(2) pertimbangan
tabu bahasa,
(3) penggunaan
bahasa ilmiah,
(4) penghalusan bahasa,
(5) penggunaan
ungkapan normatif khusus,
(6) penggunaan pronomina secara tepat,
(7) pemilihan
kata yang bernilai rasa lebih
halus, dan
(8) penggunaan bahasa tubuh
secara tepat (bandingkan dengan Poedjosoedarmo, 1978:400-419).
1) Sikap Terbuka dan Bersahabat
Sikap terbuka
untuk bisa mendengarkan
keluhan dari siapa
saja dalam masyarakat tutur BI
diakui sebagai sikap
yang sopan dalam
tindak tutur. Sebab
itulah, orang yang menolak diajak bicara atau tidak
merespon pertanyaan dikesani sebagai orang yang sombong dan kurang sopan. Cara
menanggapi keluhan atau pembicaraan dengan bersahabat juga diakui sebagai tatacara
yang sopan dalam bertutur. Cara
yang demikian akan membentuk suasana tutur yang kondusif,
sehingga komunikasi berjalan secara baik. Penolakan terhadap
pertanyaan atau tidak mau bicara
masih dalam batas kesopanan apabila
yang diajak bicara (1) betul-betul tidak ada waktu, (2) tidak mempunyai
kewenangan tentang hal yang dibicarakan,
(3) menolak secara sopan, misalnya: maaf kali ini saya sibuk, apa kita bisa
bicara nanti sore?
2) Pertimbangan Tabu Bahasa
Dalam kegiatan tutur
sehari-hari penggunaan kata tertentu perlu dihindari karena nilai
rasanya tidak sesuai.
Jika dipaksakan dipakai biasanya menimbulkan kesan jorok, vulgar, dan tidak
sopan. Kelompok kata pada kolom yang kedua apabila dipakai akan terasa lebih sopan jika
dibandingkan dengan kelompok kata pada kolom pertama. Perhatikan kelompok kata di bawah ini.
Kesopanan tutur
bisa diwujudkan dengan
menggunakan kata-kata ragam
ilmiah, karena ragam kesehariannya bernilai rasa kurang baik. Kelompok
kata pada kolom kedua di bawah ini, nilai
rasanya lebih baik (lebih sopan)
dibandingkan dengan kelompok kata
pada kolom pertama, karena kelompok kata kolom pertama terasa vulgar (agak jorok).
Penghalusan Bahasa (Eufemisme)
4)
Untuk bertutur
secara sopan, masyarakat
bahasa Indonesia sering
menghaluskan kata-kata yang
dianggap kasar. Penghalusan tersebut dilakukan dengan cara mencari padanannya
yang secara semantis relatif bersinonim, dan bernilai rasa lebih
santun. Penggunaan bentuk halus tersebut berfungsi
untuk menghindari kesan
tidak sopan, dan
salah paham. Misalnya: tersinggung dengan
penggunaan kata tertentu.
Gejala penghalusan kata-kata ini
dikenal dengan gaya eufemisme. Kelompok kata pada kolom kedua di bawah
ini nilai rasanya lebih sopan
dibandingkan dengan kelompok
kata pada kolom
pertama.
5) Penggunaan Ungkapan Normatif Khusus Ada
sejumlah ungkapan khusus
dalam bahasa Indonesia,
yang apabila digunakan
dalam bertutur akan terasa sopan. Ungkapan khusus tersebut dapat menghindarkan pembicara dari
kesan
(a) mendikte, (b)
asal menyuruh, (c)
memandang rendah orang
yang dikenai tindakan,
dan (d) “sok
kuasa”. Perhatikan
contoh berikut.
1) Maaf, bisa mengganggu sebentar , mau minta
rekomendasi.
2)Mohon (dengan
kerelaan hati) untuk memberi sumbangan
bagi penderita bencana banjir.
3) Dimohon (dengan hormat) untuk menunggu giliran.
4) Boleh minta tolong, untuk membelikan tiket pesawat?
5) Sebaiknya
Ibu pulang, masalahnya sudah selesai.
6) Akan lebih baik
jika Bapak tidak berdiri memenuhi jalan
ini.
Kalimat-kalimat di
atas terasa lebih
sopan jika dibandingkan
dengan kalimat di
bawah ini, walaupun ide dasarnya
relatif sama.
1) Mau minta rekomendasi.
2) Minta sumbangan
untuk penderita bencana banjir.
3) Tunggu giliran.
4) Belikan tiket pesawat!
5) Pulanglah, urusanmu sudah selesai.
6) Dilarang berdiri di jalan ini.
Penggunaan
Pronomina
Kata ganti
orang (pronomina) pada
kolom yang pertama
biasa dipakai untuk orang yang setara umur, jabatan, status
sosial, dan telah akrab. Pronomina pada kolom kedua biasa dipakai untuk
berbicara dengan orang
yang perlu dihormati
secara proporsional dan tidak terlalu feodal. Penggunaan
pronomina pada kolom kedua di bawah ini biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan
rasa hormat, dan nilai rasanya secara objektif relatif sopan dibandingkan dengan
pronomina pada kolom pertama. Kata Ganti
Orang Bentuk
Halus (Sopan) Bentuk Biasa Saya, Hamba Pertama
Aku Anda, Saudara, Tuan, Nyonya,
Kedua Kamu, Engkau (Kau) Beliau, Bapak, Ibu Ketiga Tunggal Dia, ia Bapak-bapak, Ibu-ibu,
Tuan-tuan, Ketiga Jamak Mereka
Nyonya -nyonya, Yang
Mulia para
(Duta besar) ….
7) Pemilihan Kata yang Bernilai Rasa Lebih
Halus
Dalam bertutur,
pilihan kata yang bernilai rasa halus diperlukan sekali. Dalam bahasa Indonesia ada
kata yang ide pokoknya
sama tetapi nilai rasanya
sangat berbeda. Kata-kata tertentu hanya
cocok digunakan bagi
“penjahat” dan bahkan,
hanya cocok untuk
binatang saja.
8) Penggunaan Bahasa Tubuh secara Tepat
Dalam kegiatan
tutur sehari-hari masyarakat
BI lazim menggunakan
bahasa tubuh
(gestur) secara
proporsional. Penggunaan bahasa tubuh tersebut biasanya mempertimbangkan
mitra tutur.
Apabila berbicara dengan
orang yang perlu
dihormati, dan apalagi
lebih tua
umurnya, akan
dikesani kurang sopan
jika berbicara sambil
(1) memandangi mata
terus-menerus,
(2) berkacak
pinggang,
(3) membuang muka,
(4) meletakkan kaki
di atas meja,
(5) menyilangkan kaki
di atas paha (“jigang”), (6) menunjuk-nunjuk mitra tuturnya dengan jari, (7) menunjukkan sesuatu dengan tangan kiri atau
kaki, dan (8) memberikan sesuatu dengan tangan
kiri. Pada masyarakat tertentu
(etnis tertentu) dalam
berbahasa Indonesia sering menggunakan gestur
dari kultur lokal yang
berasal dari bahasa
daerah yang bersangkutan. Misalnya, masyarakat Jawa dalam
bertutur BI akan dinilai lebih sopan
apabila (1) menaruh kedua tangan
di depan(“ngapu rancang”),
(2) berjalan dengan
agak membungkuk apabila lewat
di depan orang
yang lebih tua
(perlu dihormati), (3)
mempersilakan seseorang atau menunjuk sesuatu dengan ibu jari tangan
kanan.
Bentuk,
Makna, dan Fungsi Bahasa Tubuh
1) Bentuk Bahasa Tubuh
Komunikasi bahasa
tubuh dapat dipandang
dalam perspektif kajian
yang berbeda-beda. Setidaknya
ada dua aliran.
Pertama, para pakar
yang tergolong sebagai
pemikir dialektika dalam komunikasi
yang memandang komunikasi
bahasa tubuh sebagai
antitesis dari komunikasi verbal. Aliran ini diwakili oleh Richmond,
dkk., (l99l), Schutz (l97l), Abizar (l988),
Muhammad (l995). Kedua,
para pakar yang
menganut pandangan interaksionisme, yang diwakili Karp dan Yoles
(l986). Bagi penganut paham
dialektika, komunikasi bahasa
tubuh dipahami sebagai
salah satu bentuk komunikasi manusia yang dibedakan dari komunikasi
verbal. Perbedaan tersebut tampak
dalam suatu kondisi
dialektis, yaitu proses
penyampaian pesan dilakukan
melalui ungkapan bahasa tubuh
dengan tidak disertai
kata-kata, seperti pada
komunikasi verbal. Dalam perspektif
ilmiah, komunikasi bahasa
tubuh oleh Richmond,
dkk., (l99l) diartikan sebagai “…the mode of communication (such gerture and facial expression) without v
erbal language“.
Karp dan
Yoels (1982) mendefenisikan komunikasi
bahasa tubuh dalam
perspektif interaksi
simbolik. Dalam perspektif
yang demikian komunikasi
bahasa tubuh dipandang sebagai salah
satu bentuk interaksi dengan menggunakan simbol-simbol
bahasa tubuh yang diciptakan
manusia.
Berpijak pada
pemikiran yang dikemukakan
para pemikir dialektika
dan interaksionisme, dapat dipahami
bahwa komunikasi bahasa
tubuh adalah suatu
bentuk
komunikasi untuk
menyampaikan pesan dengan menggunakan berbagai simbol bahasa tubuh seperti
perilaku bahasa tubuh, simbol budaya, dan simbol sosial. Pada pembahasan ini
istilah perilaku bahasa tubuh dan
komunikasi bahasa tubuh diartikan sama, karena setiap aktivitas komunikasi
bahasa tubuh antarmanusia, selalu melibatkan perilaku bahasa tubuh.
Bahasa tubuh
memiliki karakteristik umum
(a) sebagai cara
manusia untuk mengekspresikan perasaan,
(b) merupakan ekspresi
perilaku sehari-hari, (c)
makna komunikasi bahasa tubuh
sangat tergantung pada konteks
tertentu; (d) pesan
bahasa tubuh mendahului
pesan verbal, (e) bahasa tubuh
lebih jujur dibandingkan dengan bahasa
verbal, dan (f) komunikasi
bahasa tubuh kadang-kadang
sulit untuk diinterpretasikan sehingga membutuhkan adanya pola interpretasi
yang holistik (Muhammad, 1995; Latipun, 1996).
Wujud bahasa tubuh dapat dikelompokkan menjadi
sepuluh bentuk sebagai berikut.
(1) Kontak
mata yang unsur-unsurnya terdiri
dari: (a) melihat
pada objek tertentu,
(b) melihat ke bawah, (c) tertuju pada orang lain, (d) memandang dengan
sorotan tajam, dan (e) berganti-ganti dari satu objek ke objek yang lain.
(2) Postur Tubuh yang unsur-unsurnya terdiri dari (a) membungkuk,
(b) tegak, (c) posisi duduk, (d) posisi berdiri, dan (e) berjalan/berlari.
(3) Kulit
yang terdiri dari (a) pucat, (b) berkeringat, (c) muka merah untuk
menunjukkan rasa malu; (4) bulu roma tegak sebagai tanda ketakutan.
(4) Gerakan
tangan dan lengan
yang berdiri dari:
(a) menunjuk objek,
(b) membentuk ukuran atau bentuk,
dan (c) menunjukkan tantangan.
(5) Tingkah laku
membebankan diri yang meliputi menggigit
kuku, dan menarik rambut.
(6) Tingkah laku pengulangan yang
biasanya ditafsirkan sebagai tanda
kegelisahan atau ketakutan.
Unsurnya meliputi (a) memukul dengan
jari, (b) mengeliat-geliat, dan
(c) gemetar.
(7) Ekspresi
wajah untuk menunjukkan
sikap, pikiran, perasaan
suka atau tidak
suka. Unsur-unsurnya
meliputi (a) tidak
berubah, (b) mengerutkan
dahi, (c) mengerutkan hidung, d) mengigit bibir, dan
(e) perubahan bentuk bibir (bersiul, senyum, bersungut-sungut).
(8) Sentuhan
yang berupa memberi
perhatian dengan menepuk bahu,
dan ungkapan persahabatan,
seperti merangkul dan jabat tangan.
(9) Perawatan badan yang meliputi (a) pewarnaan dan gaya menata
rambut, (b) tatarias, dan (c) penggunaan parfum.
(10) Tanda
atau komando yang
berupa ( a) menunjuk dengan jari,
(b) menempelkan jari pada bibir
tanda diam, (c)
menunjukkan posisi sesuatu,
(d) tanda jempol
untuk menunjukkan
persetujuan, (e) melambaikan
tangan, (f) mengedipkan
mata, dan (g) mengangguk (setuju), menggeleng atau
tanda tidak setuju.
2)
Makna Bahasa Tubuh
Bahasa tubuh
manusia memiliki makna
dan peran yang
besar dalam komunikasi, walaupun selama ini bahasa verbal
selalu dianggap sebagai alat komunikasi terandal dengan mengabaikan unsur-unsur
non verbal. Makna
yang terkandung dalam
bahasa tubuh dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu (1)
makna personal, (2)
makna sosiobudaya, dan
((3) makna religius (Taufik, 2003). Makna personal
terkait dengan pemakaian
zona pembicaraan sebagai
suatu cara untuk mengungkapkan
perasaannya yang bersifat
pribadi. Zona wicara terbagi
menjadi (1) zona intim dekat, (2) zona
intim, (3) zona pribadi, (4) zona social, dan (5) zona publik.
1) Zona Intim Terdekat (0-15 cm/0-6 inci) Pada
zona ini hanya kekasih, teman akrab, atau kerabat dekatnya yang boleh masuk sampai zona ini dan biasanya mereka akan
memeluk atau menyentuhnya. Jika seseorang yang tidak disukai atau tidak dikenal
dengan baik masuk ke zona intim ini, reaksi emosional dari orang ini akan
muncul.
2) Zona Intim (15-45 cm/6 inci – 1 kaki 6
inci) Seseorang dengan kemauan
sendiri akan membiarkan
kekasih, teman dekat,
atau kerabatnya masuk zona ini, tetapi zona ini tetap dijaga agar bebas
dari gangguan orang asing demi kenyamanan dan
keamanan. Seseorang yang tidak
dikenal baik atau tidak disukainya masuk ke zona pribadi, individu
ini akan merasa stress. Badannya mungkin secara otomatis akan mengalami
perubahan yang bertujuan menyiapkan diri untuk menghadapi sentuhan yang tidak
diinginkan atau serangan fisik.
3) Zona Pribadi (46 cm – 1,2 m/1 kaki 6 inci – 4
kaki)
Zona ini
adalah jarak terjauh yang ingin dipertahankan ketika
seseorang mengobrol dengan orang
lain pada peristiwa sosial. Berdiri lebih dekat dari jarak ini terasa terlalu intim untuk kenalan baru. Akan tetapi berdiri terlalu jauh juga bukan tindakan yang tepat. Untuk sejenak, seorang
individu secara akan merasa
terancam jika seseorang berdri
terlalu dekat dengannya, tetapi
ia juga merasa
ditolak jika seseorang
berdiri terlalu jauh
darinya. Ini menandakan bahwa
manusia adalah makhluk kompetitif
walaupun sosial.
4) Zona Sosial (1, 2, 3, 5 m/4-12 kaki)
Zona ini lebih jauh
jaraknya dibandingkan denganb zona sosial yang digunakan oleh orang yang saling
mengobrol dalam suatu pesta. Zona sosial digunakan di toko-toko, di jalan, atau di
rumah, ketika pembeli atau klien berbicara dengan penjaga toko
atau pemilik toko. Zona Sosial
juga digunakan pada interaksi bisnis.
5) Zona Publik (lebih dari 3,6 m/lebih dari 12
kaki)
Seseorang yang
berbicara di depan
sekelompok orang akan
cenderung berdiri sekurang-kurangnya
sejauh zona ini terhadap barisan terdepan dari pemirsa yang hadir. Makna
sosiobudaya bahasa tubuh
terkait dengan konteks budaya etnis atau bangsa tertentu. Di
beberapa negara, anggukan
kepala malah berarti
“tidak”, seperti di
Bulgaria, sementara isyarat untuk “ya” di negara itu adalah
menggelengkan kepala. Dalam budaya Arab,
menggelengkan kepala berarti
“ya”. Ada sebuah
anekdot yang memilukan.
Kartini, seorang TKW Indonesia
dituduh telah melakukan
perzinahan dengan seorang
pekerja asal India dan
dinyatakan bersalah karena
ia menggelengkan kepalanya
ketika ia ditanya
oleh jaksa dan hukum.
Dalam sidang itu,
Kartini tidak didampingi
penerjemah, sementara kemampuannya berbahasa
Arab amat kurang.
Semua pertanyaan dijawabnya
dengan gelengan kepala yang
berarti “tidak”, padahal
di negara itu
gelengan kepala berarti
“ya” (Tempo, 2000). Di
Indonesia orang membungkukkan
badannya lebih rendah
ketika berjabatan tangan dengan
orang lain yang
dihormati. Di Jawa
misalnya, jika seseorang memberikan dan
menerima sesuatu dengan
tangan kiri dianggap
perilaku kurang beradab. Jika, terpaksa
harus menggunakan tangan
kiri biasanya mereka
mohon maaf dulu
dengan kata: “amit” dan
itupun hanya bisa
dilakukan kepada orang-orang
yang dianggap akrab. Salam gaya Malaysia:
berdiri dengan mengacungkan
tangan, merapatkan ujung-ujung
jari, dan kemudian meletakkan tangan di dada.
Makna religius
bahasa tubuh terkait
dengan komunikasi manusia
dengan Sang Pencipta. Setiap
agama mempunyai gerakan
bahasa tubuh sesuai
dengan kepercayaan dan religius
masing-masing yang telah
baku. Misalnya, umat
Islam dalam melakukan
shalat, bahasa tubuhnya sesuai
dengan tatatertib gerakan
tubuh yang sudah
ditentukan urutannya dalam rukun
shalat (Taufik, 2006). Misalnya: mengangkat kedua tangan, tangan bersedekap, ruku’, i’tidal,
sujud, duduk antara dua
sujud, sujud kedua, duduk tahiyat
akhir, dan berdoa dengan mengangkat kedua tangan. Umat
Kristen Protestan, gerakan bahasa tubuhnya berupa melipat tangan. Juga pendeta merentangkan
kedua tangan dalam keadaan tertelungkup
dan para jamaat menerima dengan tangan direntangkan dalam keadan
terbuka.
3) Fungsi Bahasa Tubuh
Bahasa tubuh
berfungsi (1) repetisi
yaitu mengulang-ulang kembali
gagasan yang sudah disajikan
secara verbal, seperti
tanda setuju secara
verbal dengan cara
sambil mengangguk
berkali-kali; (2) kontradiksi
yaitu penolakan atau
memberi arti lain
terhadap pesan verbal, seperti
memuji dengan mencibirkan
bibir seraya berkata
“anda hebat”; (3) aksentuasi yaitu
memberi penegasan terhadap pesan
verbal, seperti menyatakan
penyesalan sambil memukul sesuatu,
(4) fungsi komplementer
yaitu dimaksudkan untuk
melengkapi makna pesan verbal,
(5) subtitusi, yaitu
menggantikan pesan verbal,
seperti menyatakan pujian dengan
cara mengacungkan jempol tanpa menggunakan kata-kata ( Pease, 1996). Buber
(1957) membedakan tiga bentuk relasi manusia, yaitu relasi (1) eksistensi
personal, (2) eksistensi sosial, dan (3) eksistensi religius. Dalam relasi
eksistensi personal, manusia selalu membutuhkan
komunikasi sebagai suatu
cara untuk mengungkapkan
perasaannya yang bersifat pribadi.
Dalam relasi eksistensi
sosial, komunikasi diperlukan
dalam hubungannya dengan
aspek sosial manusia
yang tampak dalam
relasi dengan sesama
maupun dengan lingkungan sekitarnya.
Dalam komunikasi manusia
dengan Sang Pencipta
terdapat relasi eksistensi
religius. Kontribusi Budaya Tutur bagi Pendidikan Etika di SD Seperti
dipaparkan bagian terdahulu dapat dilihat bahwa dalam kegiatan tutur bahasa Indonesia
terdapat muatan etika (sopan santun). Karenanya untuk dapat berbahasa Indonesia
dengan baik diperlukan sejumlah pengetahuan etika tutur BI. Belajar etika tutur
berarti belajar
bersopan santun.
Materi etika tutur
BI perlu disampaikan
untuk siswa SD,
karena dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan untuk
sekolah dasar (KTSP
SD) pendidikan etika disampaikan secara terpadu dengan
matapelajaran lain, termasuk BI. Penyampian
materi ini bagi siswa SD mempunyai tiga kontribusi yaitu
(1) siswa dapat belajar keterampilan
berbicara secara benar,
(2) siswa
dapat mempelajari etika
atau sopan santun untuk bekal
pergaulan sosial maupun pergaulan bisnis, (3) siswa dapat belajar bahasa dalam konteks
nyata dan sesuai
kebutuhan hidup, dan
car a belajar ini
sesuai dengan pendekatan
kontekstual yang sekarang mulai banyak diterapkan.
Pentingnya pendidikan
etika dewasa ini
tidak bisa dipungkiri.
Seper ti diketahui sekarang ini
terjadi krisis multi dimensi, termasuk krisis moral. SD merupakan titik awal
yang baik untuk memulai
dan memperkuat kembali
moralitas positip anak
didik yang mereka peroleh dari
keluarga, kelompok bermain, dan
pendidikan prasekolah (taman kanak-kanak). Pendidikan moral
ini sebaiknya diajarkan secara
berkesinambungan ke jenjang
yang lebih tinggi, bahkan sampai
perguruan tinggi.
KESIMPULAN
Dalam berbahasa
perlu mempertimbangkan kaidah umum
berbahasa, yaitu (1) seting dan
suasana pembicaraan, (2) siapa peserta
wicaranya (orang pertama, kedua, atau
bahkan ketiga), (3) tujuan
pembicaraan yang jelas,
(4) urutan, aturan,
atau giliran wicara
(cara menyela secara benar),
(5) topik pembicaraan
sesuai, (6) alat
atau saluran wicara
yang digunakan (telepon, surat, telegram dan sebagainya mempunyai aturan
tersendiri), (7) norma atau sopan santun
berbahasa yang berlaku di masyarakat bahasa yang bersangkutan, dan (8)
ragam bahasa yang
tepat (resmi, santai, ilmiah, dan sebagainya).
Secara khusus, ada sejumlah budaya tutur yang merupakan aturan tutur
dasar BI yang perlu dipatuhi agar tuturan komunikasi terasa sopan. Aturan
dasar yang dimaksud adalah (1) sikap
terbuka dan bersahabat, (2) pertimbangan tabu bahasa, (3) penggunaan bahasa
ilmiah, (4) penghalusan bahasa
(eufemisme), (5) penggunaan
ungkapan normatif khusus,
(6) penggunaan pronomina secara tepat, (7) pemilihan kata yang bernilai
rasa lebih halus, dan (8) penggunaan bahasa tubuh secara tepat. Bahasa tubuh
adalah suatu bentuk komunikasi penyampaian
pesan yang dilakukan melalui penggunaan berbagai
simbol. Fungsi bahasa tubuh mencakup fungsi (1) r epetisi, (2) kontradiksi, (3)
aksentuasi, (4) komplementer, dan (5) substitusi. Makna bahasa tubuh dalam perilaku
manusia mencakup makna personal, sosiobudaya,
dan religius. Bahasa tubuh perlu dikaji lebih
lanjut, khususnya bahasa
tubuh dalam konteks
sosiobudaya bahasa Indonesia. Etika tutur BI perlu diajarkan
dalam rangka mengembangkan keterampilan berbahasa secara
baik dan
mengembangkan moral positip siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abizard, M. 1988. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Ambady, N. and
Roseuthal, R. 1993. Half a Mimite
Predicting Teacher Evalutions from then
Slices of
Nonverbal and Physical
Attrachiveness. Journal of
Personaly and Social
Psychology 64 (3).
pp. 341-441.
Azhim, S. 2002. Membimbig Anak Terampil Berbahasa. Jakarta: Gema Insani.
Birdwhistell, R.L.
1985. Kinesics and
Context: Essays on
Body Motion Communication.
USA: University of
Pennsylvania Publication.
Gumperz, J. J. dan
Dell H. 1972. Directions in
Sociolinguistics . New York: Holt, Rinehart.
Hymes, D.
1972. “On Communicative
Competence” dalam J.B
Pride dan J.
Holmes Ed.
Sociolinguistics. Penguin, Harmondsworth.
Johnson, D.W.
1986. Reaching Out:
Interpesonal Effectiveness and
Self Actualization.
Englewood Cliffs. New
Jersey: Prentice-Hall Inc.
Karp D.
A. and Yoeds,
W.C. 1986. Sociology
and Everybody Life.
USA: FE. Peacock
Publisher Inc.
Latipun. 1996. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Muhammad, A.
1995. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana, D. 2002.
Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar .
Bandung: PT. Surya Abadi. Remaja
Rosdakarya.
Nababan, P,W,J.
1979. “Sosiolinguistik Selayang Pandang”
dalam Pengajaran Bahasa dan
Sastra Tahun V Nomor 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Poedjosoedarmo, S.
1978. “Language Etiquette in Indonesian” dalam Spectrum , Udin (Ed.).
Jakarta: Dian Rakyat.
Richmont, V.P.,
McGraowskey, J.C. Payne, S.K. 1991.
Nonverbal Behavior in Interpersonal
Relations. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall.
Samovar, L. A. dan
Richard E. P. 1997. Communication and
Human Interaction. Edisi ke-2.
Glenville, III:
Scott, For esman G. co.
Schultze, Q. J. 1991. Winning Your Kids Back from the Media. New York: Sovereign World
Taufik, T. 2006. Kesepadanan Komunikasi Verbal dan Unsur
Nonverbalnya dalam Interaksi
Guru-Siswa di
Kelas 1 Sekolah
Dasar Kartika Padang.
Disertasi. Malang: Progran
Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.
Whiteside, R.L.
1996. Bahasa Wajah. Jakarta: Penerbit Arcan.
0 komentar:
Posting Komentar