Rabu, 25 Juni 2014

BUDAYA TUTUR BAHASA INDONESIA


TUGAS 9B

Judul Jurnal       :  Budaya Tutur Bahasa Indonesia dan
                             Kontribusinya Bagi Pendidikan Etika di
                             Sekolah Dasar

Penyusun          : Sukatman, FKIP Universitas Jember

Nuanza-Ok.blogspot.com
Foto diambil dari internet


Abctract
In  a  language  needs  to  consider  certain  things  that  are  common  rule language,  namely  (1)  setting  and  atmosphere  of  the  talks,  (2)  who  is  the  speaker participants  ,  (3)  a  clear  discussion  purposes,  (4)  the  order,  rule,  or  turn  speech,  (5) appropriate  subject,  (6)  tool  or  speech  channels  are  used,  (7)  norms  or  manners prevailing in the society, and (8) appropriate  various languages . There are a number of cultural foundation of speek in Indonesian that needs to be adhered to be a polite speech communication.  The  basic  rule  in  question  is  (1)  an  open  and  friendly  attitude,  (2) consideration  of  taboo  language,  (3)  the  use  of  scientific  language,  (4)  refining  the language  (euphemism),  (5)  the  use  of  special  normative  expression,  (6)  the  use  of pronouns  correctly,  (7)  the  choice  of  words  which  are  smoother,  and  (8)  the  use  of appropriate body language. Culture of said in Indonesian language needs to be taught in primary schools as a means of ethical education 
 Abstrak:  Dalam berbahasa perlu  me mpertimbangkan hal-hal tertentu yang merupakan kaidah  umum  berbahasa,  yaitu  (1)  seting  dan  suasana  pembicaraan,  (2)  siapa  peserta wicaranya,  (3)  tujuan  pembicaraan  yang  jelas,  (4)  urutan,  aturan,  atau  giliran    wicara,
(5)  topik  pembicaraan  sesuai,  (6)  alat  atau  saluran  wicara  yang  digunakan,  (7)  norma
atau  sopan  santun yang  berlaku  di  masyarakat,  dan (8)  ragam  bahasa yang  tepat.  Ada sejumlah  budaya  tutur  dasar  BI  yang  perlu  dipatuhi  agar  tuturan  komunikasi  terasa sopan.  Aturan  dasar  yang  dimaksud  adalah 
(1)  sikap  terbuka  dan  bersahabat, 
(2) pertimbangan  tabu  bahasa, 
(3)  penggunaan  bahasa  ilmiah, 
(4)  penghalusan  bahasa (eufemisme), 
(5)  penggunaan  ungkapan  normatif  khusus,  (6)  penggunaan  pronomina secara  tepat,
(7)  pemilihan  kata  yang  bernilai  rasa  lebih halus,  dan  (8)  penggunaan bahasa  tubuh  secara  tepat.  Budaya  tutur  bahasa  Indonesia  perlu  diajarkan  di  sekolah dasar sebagai sarana pendidikan etika. 
 Kata kunci:  budaya tutur,  bahasa Indonesia, pendidikan etika

PENDAHULUAN
Etika  bahasa  adalah  suatu  kaidah  normatif  penggunaan  bahasa  yang  merupakan pedoman umum dan disepakati oleh masyarakat pengguna bahasa bahwa cara yang demikian itu  diakui  sebagai  bahasa  yang  sopan,  hormat,    dan  sesuai  dengan  tatanilai  yang  berlaku dalam  masyarakat  bahasa  yang  bersangkutan.  Dalam  konteks  berbahasa  Inggris  Gumpersz dan  Hymes,  (1972)  menemukan  aturan  umum  berbahasa  secar a  baik.  Apabila  seseorang berbahasa  perlu    mempertimbangkan  hal-hal  tertentu,  yaitu  (1)  seting  dan  suasana pembicaraan,  (2)  siapa  peserta  wicaranya  (orang  pertama,  kedua,  atau  bahkan  ketiga),  (3) tujuan pembicaraan yang  jelas,  (4) urutan, aturan, atau giliran   wicara (cara menyela secara benar),  (5) topik pembicaraan sesuai, (6) alat atau saluran wicar a yang digunakan (telepon, surat, telegram dan  sebagainya mempunyai aturan tersendiri),  (7) norma atau sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat bahasa yang bersangkutan, dan (8)  ragam bahasa yang tepat (resmi, santai, ilmiah, dan sebagainya).  
Hymes  (1972)  membuat  akronim  tentang  santun  berbahasa  tersebut  di  atas  dengan
SPEAKING . Maksudnya adalah sebagai berikut:
S (etting and Scene) (situasi wicara/berbahasa)
P (articipants) (peserta)
E (nds) (purpose and goal) (tujuan)
A (ct sequences) (urutan wicara)
K (ey) (tone or spirits of act) (nada wicara)
I (nstrumentalities) (alat atau salluran wicara)
N (orms (of interaction and interpretation) (norma atau aturan)
G (enres (bentuk dan ragam bahasa)
Prinsip  dasar  wicara  tersebut  perlu  dipatuhi  oleh  seseorang  dalam  wicara  agar
wicaranya  berjalan  dengan  baik,  sopan,  dan  tidak  menimbulkan  kesalahpahaman. Pembicaraan  di  kantor,  pasar,  rumah  sakit,  masjid,  kampus,  dan  sebagainya  akan mempengaruhi  perbedaan  penggunaan bahasa. Suasana  sedih,  senang, santai,  resmi,  marah, takut,  dan  sebagainya  juga  mempengaruhi  penggunaan  bahasa.  Jadi,  seting  dan  suasana pembicaraan  menuntun  pewicara  untuk  memilih  dan  menyesuaikan  ragam  bahasa  yang sesuai.    Siapa partisipan yang diajak wicara menentukan pilihan kata sapaan dan ragam tutur. Faktor  penentu  pemilihan  bahasa  dari  segi  partisipan  tersebut  dapat  berupa  umur,  jabatan organisasi,  silsilah  keluarga,  status  sosial,  pendidikan,  dan  bahkan  ada  gejala  tingkat kekayaan juga mempengaruhi pilihan kata dalam berbahasa. Tujuan  pembicaraan  berhubungan  erat  dengan  pilihan  ragam  bahasa.  Tujuan  tutur mendidik,  merayu, memarahi,  meminta  tolong,  menyanjung,  dan  sebagainya,  tiap  kegiatan tersebut mempunyai pilihan kata yang berbeda.  Dalam sebuah percakapan antara dua orang atau lebih ada aturan cara membuka percakapan, kapan harus berbicara (giliran wicara), cara menyela, dan cara menutup percakapan, secara baik.  Suasana pembicaraan seperti marah, merayu, bahagia, sedih dan sebagainya menjadi pertimbangan  dalam  memilih  kata  atau  ragam  bahasa  yang  sesuai.    Penggunaan  alat komunikasi, seperti telepon, surat, telegram, faksimile, dan sejenisnya juga menentukan cara dan  ragam  bahasa  yang  dipergunakan.  Norma  sosial  yang  berlaku  di  masyarakat  seperti agama  dan  kesukuan  berpengaruh  terhadap  etika  bertutur  sapa.  Selanjutnya,  penutur  perlu mempertimbangkan  ragam  bahasa  yang  digunakan,  sesuai  dengan  kebutuhan;  misalnya: ragam santai, ragam resmi, ragam usaha (konsultatif), ragam beku (upacara, undang-undang), dan ragam  akrab.  Aturan  tersebut jika  dilanggar  akan  memberikan kesan bahwa  pembicara tertentu  dikesani  tidak  sopan.  Aturan  di  atas  berlaku  pula  dalam  sopan  santun  berbahasa
Indonesia, dan merupakan prinsip umum. 

Kaidah Tutur  
Secara  khusus,  ada sejumlah aturan  tutur dasar BI  yang  perlu dipatuhi agar  tuturan komunikasi  terasa  sopan.  Aturan  dasar  yang  dimaksud  adalah 
(1)  sikap  terbuka  dan bersahabat, 
(2)  pertimbangan  tabu  bahasa, 
(3)  penggunaan  bahasa  ilmiah, 
(4)  penghalusan bahasa,
(5) penggunaan ungkapan normatif khusus,
(6) penggunaan  pronomina secara tepat,
(7)  pemilihan  kata yang bernilai rasa lebih  halus,  dan
(8)  penggunaan bahasa  tubuh  secara tepat (bandingkan dengan Poedjosoedarmo, 1978:400-419).
1)   Sikap Terbuka dan Bersahabat
Sikap  terbuka  untuk  bisa  mendengarkan  keluhan  dari  siapa  saja  dalam  masyarakat tutur  BI  diakui  sebagai  sikap  yang  sopan  dalam  tindak  tutur.  Sebab  itulah,  orang  yang menolak diajak bicara atau tidak merespon pertanyaan dikesani sebagai orang yang sombong dan kurang sopan. Cara menanggapi keluhan atau pembicaraan dengan bersahabat juga diakui sebagai  tatacara  yang  sopan dalam bertutur.  Cara  yang  demikian  akan membentuk suasana tutur yang kondusif, sehingga komunikasi berjalan secara baik. Penolakan  terhadap  pertanyaan  atau tidak  mau bicara  masih dalam  batas kesopanan apabila yang diajak bicara (1) betul-betul tidak ada waktu, (2) tidak mempunyai kewenangan tentang hal  yang dibicarakan, (3) menolak secara sopan, misalnya: maaf kali ini saya sibuk, apa kita bisa bicara  nanti sore? 
2)   Pertimbangan Tabu Bahasa
Dalam kegiatan tutur sehari-hari penggunaan kata tertentu perlu dihindari karena nilai
rasanya tidak sesuai. Jika dipaksakan dipakai biasanya menimbulkan kesan jorok, vulgar, dan tidak sopan.  Kelompok kata pada kolom yang kedua  apabila dipakai akan terasa lebih sopan jika dibandingkan dengan kelompok kata pada kolom pertama.  Perhatikan kelompok kata di bawah ini.
Kesopanan  tutur  bisa  diwujudkan  dengan  menggunakan  kata-kata  ragam  ilmiah, karena ragam kesehariannya bernilai rasa kurang baik. Kelompok kata pada kolom kedua di bawah ini, nilai  rasanya lebih baik (lebih sopan)  dibandingkan  dengan kelompok kata pada kolom pertama, karena kelompok kata kolom pertama terasa vulgar  (agak jorok).  Penghalusan Bahasa (Eufemisme)  4) 
Untuk  bertutur  secara  sopan,  masyarakat  bahasa  Indonesia  sering  menghaluskan  kata-kata yang dianggap kasar. Penghalusan tersebut dilakukan dengan cara mencari padanannya yang secara  semantis relatif  bersinonim, dan bernilai rasa lebih santun.  Penggunaan bentuk halus tersebut  berfungsi  untuk  menghindari  kesan  tidak  sopan,  dan  salah  paham.  Misalnya: tersinggung  dengan  penggunaan  kata  tertentu.  Gejala  penghalusan  kata-kata  ini  dikenal dengan gaya eufemisme. Kelompok kata pada kolom kedua di bawah ini nilai rasanya lebih sopan    dibandingkan  dengan  kelompok  kata  pada  kolom  pertama. 
5)   Penggunaan Ungkapan Normatif  Khusus Ada  sejumlah  ungkapan  khusus  dalam  bahasa  Indonesia,  yang  apabila  digunakan  dalam bertutur  akan terasa  sopan. Ungkapan khusus  tersebut dapat menghindarkan pembicara dari kesan 
(a) mendikte,  (b)  asal  menyuruh,  (c)  memandang  rendah  orang  yang  dikenai  tindakan,  dan  (d)  “sok
kuasa”. Perhatikan contoh berikut.
1)    Maaf, bisa mengganggu sebentar , mau minta rekomendasi.
2)Mohon (dengan kerelaan hati)   untuk memberi sumbangan bagi penderita bencana banjir.
3) Dimohon (dengan hormat)  untuk menunggu giliran.
4)  Boleh minta tolong,  untuk membelikan tiket pesawat?
5)  Sebaiknya  Ibu pulang, masalahnya sudah selesai.
6) Akan lebih baik jika  Bapak tidak berdiri memenuhi jalan ini.
Kalimat-kalimat  di  atas  terasa  lebih  sopan  jika  dibandingkan  dengan  kalimat  di  bawah  ini, walaupun ide dasarnya relatif sama.
1)  Mau minta rekomendasi.
2) Minta sumbangan untuk penderita bencana banjir.
3)    Tunggu giliran.
4)    Belikan tiket pesawat!
5)    Pulanglah, urusanmu sudah selesai.
6)    Dilarang berdiri di jalan ini.

Penggunaan Pronomina
Kata  ganti  orang  (pronomina)  pada  kolom  yang  pertama  biasa  dipakai untuk  orang yang setara umur, jabatan, status sosial, dan telah akrab. Pronomina pada kolom kedua biasa dipakai  untuk  berbicara  dengan  orang  yang  perlu  dihormati  secara  proporsional  dan tidak terlalu feodal. Penggunaan pronomina pada kolom kedua di bawah ini biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat, dan nilai rasanya secara objektif relatif sopan dibandingkan dengan pronomina pada kolom pertama.  Kata Ganti Orang                            Bentuk Halus (Sopan)   Bentuk  Biasa Saya, Hamba  Pertama  Aku Anda, Saudara, Tuan, Nyonya,  Kedua    Kamu, Engkau (Kau) Beliau, Bapak, Ibu  Ketiga Tunggal       Dia, ia Bapak-bapak, Ibu-ibu, Tuan-tuan,  Ketiga Jamak        Mereka
Nyonya -nyonya, Yang Mulia para                    
(Duta besar) ….                     
7)   Pemilihan Kata yang Bernilai Rasa Lebih Halus
Dalam bertutur, pilihan kata yang bernilai rasa halus diperlukan sekali. Dalam bahasa Indonesia  ada  kata  yang  ide pokoknya  sama tetapi  nilai  rasanya  sangat berbeda.  Kata-kata tertentu  hanya  cocok  digunakan  bagi  “penjahat”  dan  bahkan,  hanya  cocok  untuk  binatang saja.
8)   Penggunaan Bahasa Tubuh secara Tepat
Dalam  kegiatan  tutur  sehari-hari  masyarakat  BI  lazim  menggunakan  bahasa  tubuh
(gestur) secara proporsional. Penggunaan bahasa tubuh tersebut biasanya mempertimbangkan
mitra  tutur.  Apabila  berbicara  dengan  orang  yang  perlu  dihormati,  dan  apalagi  lebih  tua
umurnya,  akan  dikesani  kurang  sopan  jika  berbicara  sambil 
(1) memandangi  mata  terus-menerus,
(2) berkacak pinggang,
(3) membuang muka,
(4) meletakkan kaki di atas meja,
(5) menyilangkan kaki di atas paha (“jigang”), (6) menunjuk-nunjuk mitra tuturnya dengan jari, (7)  menunjukkan sesuatu dengan tangan kiri atau kaki, dan (8) memberikan  sesuatu dengan tangan kiri. Pada  masyarakat  tertentu  (etnis  tertentu)  dalam  berbahasa  Indonesia  sering menggunakan  gestur  dari kultur  lokal  yang  berasal  dari  bahasa  daerah  yang  bersangkutan. Misalnya, masyarakat Jawa dalam bertutur BI akan dinilai lebih sopan  apabila (1)  menaruh kedua  tangan  di  depan(“ngapu  rancang”),  (2)  berjalan  dengan  agak  membungkuk  apabila lewat  di  depan  orang  yang  lebih  tua  (perlu  dihormati),  (3)  mempersilakan  seseorang  atau menunjuk sesuatu dengan ibu jari tangan kanan.

Bentuk, Makna, dan Fungsi Bahasa Tubuh
1)   Bentuk Bahasa Tubuh
Komunikasi  bahasa  tubuh  dapat  dipandang  dalam  perspektif  kajian  yang  berbeda-beda.    Setidaknya  ada  dua  aliran.  Pertama,  para  pakar  yang  tergolong  sebagai  pemikir dialektika  dalam  komunikasi  yang  memandang  komunikasi  bahasa  tubuh  sebagai  antitesis dari komunikasi verbal. Aliran ini diwakili oleh Richmond, dkk., (l99l), Schutz (l97l), Abizar (l988),  Muhammad  (l995).  Kedua,  para  pakar  yang  menganut  pandangan  interaksionisme, yang diwakili Karp dan Yoles (l986). Bagi  penganut  paham  dialektika,  komunikasi  bahasa  tubuh  dipahami  sebagai  salah satu bentuk komunikasi manusia yang dibedakan dari komunikasi verbal. Perbedaan tersebut tampak  dalam  suatu  kondisi  dialektis,  yaitu  proses  penyampaian  pesan  dilakukan  melalui ungkapan  bahasa  tubuh  dengan  tidak  disertai  kata-kata,  seperti  pada  komunikasi  verbal. Dalam  perspektif  ilmiah,  komunikasi  bahasa  tubuh  oleh  Richmond,  dkk.,  (l99l)  diartikan sebagai  “…the mode of communication (such  gerture and facial expression) without v erbal language“.  
Karp  dan  Yoels  (1982)  mendefenisikan  komunikasi  bahasa  tubuh  dalam  perspektif interaksi  simbolik.  Dalam  perspektif  yang  demikian  komunikasi  bahasa  tubuh  dipandang sebagai  salah  satu  bentuk  interaksi dengan menggunakan simbol-simbol bahasa tubuh  yang diciptakan manusia. 
Berpijak  pada  pemikiran  yang  dikemukakan  para  pemikir  dialektika  dan interaksionisme,  dapat  dipahami  bahwa  komunikasi  bahasa  tubuh  adalah  suatu  bentuk
komunikasi untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan berbagai simbol bahasa tubuh seperti perilaku bahasa tubuh, simbol budaya, dan simbol sosial. Pada pembahasan ini istilah perilaku bahasa  tubuh dan komunikasi bahasa tubuh  diartikan  sama, karena setiap aktivitas komunikasi bahasa tubuh antarmanusia, selalu melibatkan perilaku bahasa tubuh.
Bahasa  tubuh  memiliki  karakteristik  umum  (a)  sebagai  cara  manusia  untuk mengekspresikan  perasaan,  (b)  merupakan  ekspresi  perilaku  sehari-hari,  (c)  makna  komunikasi bahasa  tubuh  sangat  tergantung pada  konteks  tertentu;  (d)  pesan  bahasa tubuh mendahului  pesan  verbal, (e)  bahasa tubuh  lebih  jujur  dibandingkan dengan  bahasa  verbal, dan  (f)  komunikasi  bahasa  tubuh  kadang-kadang  sulit  untuk  diinterpretasikan  sehingga membutuhkan adanya pola interpretasi yang holistik (Muhammad, 1995; Latipun, 1996).
 Wujud bahasa tubuh dapat dikelompokkan menjadi sepuluh bentuk sebagai berikut.        
(1)  Kontak  mata   yang  unsur-unsurnya  terdiri  dari:  (a)  melihat  pada  objek  tertentu,  (b) melihat ke bawah, (c) tertuju pada orang lain, (d) memandang dengan sorotan tajam, dan (e) berganti-ganti dari satu objek ke objek yang lain.
(2)    Postur Tubuh  yang unsur-unsurnya terdiri dari (a) membungkuk, (b) tegak, (c) posisi duduk, (d) posisi berdiri, dan (e) berjalan/berlari.
(3)  Kulit  yang terdiri dari (a) pucat, (b) berkeringat, (c) muka merah untuk menunjukkan rasa malu; (4) bulu roma tegak sebagai tanda ketakutan.
(4)  Gerakan  tangan  dan  lengan  yang  berdiri  dari:  (a)  menunjuk  objek,  (b)  membentuk ukuran atau bentuk, dan (c) menunjukkan tantangan.
(5) Tingkah laku membebankan diri  yang meliputi menggigit kuku, dan menarik rambut.
  (6)    Tingkah laku pengulangan  yang  biasanya ditafsirkan sebagai tanda  kegelisahan  atau ketakutan. Unsurnya meliputi  (a) memukul  dengan  jari, (b) mengeliat-geliat, dan  (c) gemetar.
(7)    Ekspresi  wajah   untuk  menunjukkan  sikap,  pikiran,  perasaan  suka  atau  tidak  suka. Unsur-unsurnya  meliputi  (a)  tidak  berubah,  (b)  mengerutkan  dahi,  (c)  mengerutkan hidung, d) mengigit bibir, dan (e) perubahan bentuk bibir (bersiul, senyum, bersungut-sungut).
(8)   Sentuhan   yang  berupa  memberi  perhatian  dengan  menepuk  bahu,  dan  ungkapan persahabatan, seperti merangkul dan  jabat tangan.
(9)   Perawatan badan  yang meliputi (a) pewarnaan dan gaya menata rambut, (b) tatarias, dan (c) penggunaan parfum.
(10)    Tanda  atau  komando   yang  berupa ( a)  menunjuk dengan  jari,  (b) menempelkan  jari pada  bibir  tanda  diam,  (c)  menunjukkan  posisi  sesuatu,  (d)  tanda  jempol  untuk menunjukkan  persetujuan,  (e)  melambaikan  tangan,  (f)  mengedipkan  mata,  dan  (g) mengangguk (setuju), menggeleng atau tanda tidak setuju.
 2)   Makna Bahasa  Tubuh
Bahasa  tubuh  manusia  memiliki  makna  dan  peran  yang  besar  dalam  komunikasi, walaupun selama ini bahasa verbal selalu dianggap sebagai alat komunikasi terandal dengan mengabaikan  unsur-unsur  non  verbal.  Makna  yang  terkandung  dalam  bahasa  tubuh  dapat dikelompokkan  menjadi  tiga,  yaitu  (1)  makna  personal,  (2)  makna  sosiobudaya,  dan  ((3) makna religius (Taufik, 2003). Makna  personal   terkait  dengan  pemakaian  zona  pembicaraan  sebagai  suatu  cara untuk  mengungkapkan  perasaannya  yang  bersifat  pribadi. Zona  wicara terbagi menjadi  (1) zona intim dekat, (2) zona intim, (3) zona pribadi, (4) zona social, dan (5) zona publik.
1)    Zona Intim Terdekat (0-15 cm/0-6 inci) Pada zona ini hanya kekasih, teman akrab, atau kerabat dekatnya  yang boleh masuk  sampai zona ini dan biasanya mereka akan memeluk atau menyentuhnya. Jika seseorang yang tidak disukai atau tidak dikenal dengan baik masuk ke zona intim ini, reaksi emosional dari orang ini akan muncul.
2)    Zona Intim (15-45 cm/6 inci – 1 kaki 6 inci) Seseorang  dengan  kemauan  sendiri  akan  membiarkan  kekasih,  teman  dekat,  atau kerabatnya masuk zona ini, tetapi zona ini tetap dijaga agar bebas dari gangguan orang asing demi kenyamanan dan  keamanan. Seseorang yang  tidak dikenal baik  atau tidak  disukainya masuk ke zona pribadi, individu ini akan merasa stress.  Badannya  mungkin secara otomatis akan mengalami perubahan yang bertujuan menyiapkan diri untuk menghadapi sentuhan yang tidak diinginkan atau serangan fisik.
3)  Zona Pribadi (46 cm – 1,2 m/1 kaki 6 inci – 4 kaki)
Zona  ini  adalah  jarak terjauh yang  ingin dipertahankan  ketika  seseorang  mengobrol dengan orang lain pada peristiwa sosial. Berdiri lebih dekat dari jarak ini terasa  terlalu intim untuk kenalan  baru. Akan tetapi  berdiri terlalu jauh juga bukan  tindakan yang tepat.  Untuk sejenak,  seorang  individu  secara  akan merasa  terancam jika   seseorang berdri terlalu  dekat dengannya,  tetapi  ia  juga  merasa  ditolak  jika  seseorang  berdiri  terlalu  jauh  darinya.  Ini menandakan bahwa manusia adalah  makhluk kompetitif walaupun sosial.
4)    Zona Sosial (1, 2, 3, 5 m/4-12 kaki)
Zona ini lebih jauh jaraknya dibandingkan denganb zona sosial yang digunakan oleh orang yang saling mengobrol dalam suatu pesta. Zona sosial digunakan di toko-toko, di jalan, atau  di  rumah, ketika  pembeli atau  klien berbicara  dengan penjaga  toko  atau pemilik  toko. Zona Sosial juga digunakan pada interaksi bisnis.
5)    Zona Publik (lebih dari 3,6 m/lebih dari 12 kaki)
Seseorang  yang  berbicara  di  depan  sekelompok  orang  akan  cenderung  berdiri sekurang-kurangnya sejauh zona ini terhadap barisan terdepan dari pemirsa yang hadir.  Makna  sosiobudaya   bahasa  tubuh  terkait  dengan  konteks budaya etnis atau  bangsa tertentu.  Di  beberapa  negara,  anggukan  kepala  malah  berarti  “tidak”,  seperti  di  Bulgaria, sementara isyarat untuk “ya” di negara itu adalah menggelengkan kepala.  Dalam  budaya Arab,  menggelengkan  kepala  berarti  “ya”.  Ada  sebuah  anekdot  yang  memilukan.  Kartini, seorang  TKW  Indonesia  dituduh  telah  melakukan  perzinahan  dengan  seorang  pekerja  asal India  dan  dinyatakan  bersalah  karena  ia  menggelengkan  kepalanya  ketika  ia  ditanya  oleh jaksa  dan  hukum.  Dalam  sidang  itu,  Kartini  tidak  didampingi  penerjemah,  sementara kemampuannya  berbahasa  Arab  amat  kurang.  Semua  pertanyaan  dijawabnya  dengan gelengan  kepala  yang  berarti  “tidak”,  padahal  di  negara  itu  gelengan  kepala  berarti  “ya” (Tempo,  2000).  Di  Indonesia  orang  membungkukkan  badannya  lebih  rendah  ketika berjabatan  tangan  dengan  orang  lain  yang  dihormati.  Di  Jawa  misalnya,  jika  seseorang memberikan  dan  menerima  sesuatu  dengan  tangan  kiri  dianggap  perilaku  kurang  beradab. Jika,  terpaksa  harus  menggunakan  tangan  kiri  biasanya  mereka  mohon  maaf  dulu  dengan kata:  “amit”  dan  itupun  hanya  bisa  dilakukan  kepada  orang-orang  yang  dianggap  akrab. Salam gaya  Malaysia:  berdiri  dengan  mengacungkan  tangan,  merapatkan  ujung-ujung  jari, dan kemudian meletakkan tangan di dada.
Makna  religius   bahasa  tubuh  terkait  dengan  komunikasi  manusia  dengan  Sang Pencipta.  Setiap  agama  mempunyai  gerakan  bahasa  tubuh  sesuai  dengan  kepercayaan  dan religius  masing-masing  yang  telah  baku.  Misalnya,  umat  Islam  dalam  melakukan  shalat, bahasa  tubuhnya  sesuai  dengan  tatatertib  gerakan  tubuh  yang  sudah  ditentukan  urutannya dalam rukun shalat (Taufik, 2006). Misalnya: mengangkat kedua tangan, tangan bersedekap, ruku’,  i’tidal,  sujud, duduk  antara  dua  sujud, sujud  kedua,  duduk tahiyat  akhir,  dan  berdoa dengan mengangkat kedua tangan. Umat Kristen Protestan, gerakan bahasa tubuhnya berupa  melipat tangan. Juga pendeta merentangkan kedua tangan dalam keadaan tertelungkup   dan para jamaat menerima dengan tangan direntangkan dalam keadan terbuka. 
 3)   Fungsi Bahasa Tubuh
Bahasa  tubuh  berfungsi  (1)  repetisi  yaitu  mengulang-ulang  kembali  gagasan  yang sudah  disajikan  secara  verbal,  seperti  tanda  setuju  secara  verbal  dengan  cara  sambil mengangguk  berkali-kali;  (2)  kontradiksi  yaitu  penolakan  atau  memberi  arti  lain  terhadap pesan  verbal,  seperti  memuji  dengan  mencibirkan  bibir  seraya  berkata  “anda  hebat”;  (3) aksentuasi  yaitu  memberi  penegasan terhadap  pesan  verbal, seperti  menyatakan penyesalan sambil  memukul  sesuatu,  (4)  fungsi  komplementer  yaitu  dimaksudkan  untuk  melengkapi makna  pesan  verbal,  (5)  subtitusi,  yaitu  menggantikan  pesan  verbal,  seperti  menyatakan pujian dengan cara mengacungkan jempol tanpa menggunakan kata-kata ( Pease, 1996). Buber (1957) membedakan tiga bentuk relasi manusia, yaitu relasi (1) eksistensi personal, (2) eksistensi sosial, dan (3) eksistensi religius. Dalam relasi eksistensi personal, manusia selalu membutuhkan  komunikasi  sebagai  suatu  cara  untuk  mengungkapkan  perasaannya  yang bersifat  pribadi.  Dalam  relasi  eksistensi  sosial,  komunikasi  diperlukan  dalam hubungannya dengan  aspek  sosial  manusia  yang  tampak  dalam  relasi  dengan  sesama  maupun  dengan lingkungan  sekitarnya.  Dalam  komunikasi  manusia  dengan  Sang  Pencipta  terdapat    relasi eksistensi religius. Kontribusi Budaya Tutur bagi Pendidikan Etika di SD Seperti dipaparkan bagian terdahulu dapat dilihat bahwa dalam kegiatan tutur bahasa Indonesia terdapat muatan etika (sopan santun). Karenanya untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik diperlukan sejumlah pengetahuan etika tutur BI. Belajar etika tutur berarti belajar
bersopan  santun.  Materi  etika  tutur  BI  perlu  disampaikan  untuk  siswa  SD,  karena  dalam Kurikulum    Tingkat  Satuan  Pendidikan  untuk  sekolah  dasar  (KTSP  SD)  pendidikan  etika disampaikan secara terpadu dengan matapelajaran lain, termasuk BI.  Penyampian materi ini bagi siswa SD mempunyai tiga kontribusi yaitu
(1) siswa dapat belajar  keterampilan  berbicara  secara  benar, 
(2)  siswa  dapat  mempelajari  etika  atau  sopan santun untuk bekal pergaulan sosial maupun pergaulan bisnis, (3) siswa dapat belajar bahasa dalam  konteks  nyata  dan  sesuai  kebutuhan  hidup,  dan  car a  belajar  ini  sesuai  dengan pendekatan kontekstual yang sekarang mulai banyak diterapkan. 
Pentingnya  pendidikan  etika  dewasa  ini  tidak  bisa  dipungkiri.  Seper ti  diketahui sekarang ini terjadi krisis multi dimensi, termasuk krisis moral. SD merupakan titik awal yang baik  untuk  memulai  dan  memperkuat  kembali  moralitas  positip  anak  didik  yang  mereka peroleh  dari  keluarga, kelompok  bermain, dan pendidikan  prasekolah  (taman kanak-kanak). Pendidikan  moral  ini  sebaiknya diajarkan  secara  berkesinambungan  ke  jenjang  yang  lebih tinggi, bahkan sampai perguruan tinggi.


KESIMPULAN

Dalam berbahasa perlu  mempertimbangkan kaidah umum berbahasa, yaitu (1) seting dan  suasana  pembicaraan,  (2) siapa  peserta  wicaranya (orang  pertama,  kedua, atau  bahkan ketiga),  (3)  tujuan  pembicaraan  yang  jelas,  (4)  urutan,  aturan,  atau  giliran    wicara  (cara menyela  secara  benar),    (5)  topik  pembicaraan  sesuai,  (6)  alat  atau  saluran  wicara  yang digunakan (telepon, surat, telegram dan sebagainya mempunyai aturan tersendiri),  (7) norma atau sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat bahasa yang bersangkutan, dan (8)
ragam bahasa yang tepat (resmi, santai, ilmiah, dan sebagainya).  Secara khusus, ada sejumlah budaya tutur yang merupakan aturan tutur dasar BI yang perlu dipatuhi agar tuturan komunikasi terasa sopan. Aturan dasar  yang dimaksud adalah (1) sikap terbuka dan bersahabat, (2) pertimbangan tabu bahasa, (3) penggunaan bahasa ilmiah, (4)  penghalusan  bahasa  (eufemisme),  (5)  penggunaan  ungkapan  normatif  khusus,  (6) penggunaan pronomina secara tepat, (7) pemilihan kata yang bernilai rasa lebih halus, dan (8) penggunaan bahasa tubuh secara tepat. Bahasa  tubuh  adalah  suatu  bentuk komunikasi  penyampaian  pesan  yang   dilakukan melalui penggunaan berbagai simbol. Fungsi bahasa tubuh mencakup fungsi (1) r epetisi, (2) kontradiksi, (3) aksentuasi, (4) komplementer, dan (5) substitusi. Makna bahasa tubuh dalam perilaku manusia mencakup makna personal, sosiobudaya,  dan religius.  Bahasa tubuh perlu dikaji  lebih  lanjut,  khususnya  bahasa  tubuh  dalam  konteks  sosiobudaya  bahasa  Indonesia. Etika tutur BI perlu diajarkan dalam rangka mengembangkan keterampilan berbahasa secara
baik dan mengembangkan moral positip siswa.

DAFTAR PUSTAKA
 Abizard, M. 1988.  Komunikasi Organisasi.  Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Ambady, N. and Roseuthal, R. 1993.  Half a Mimite Predicting Teacher Evalutions from then
Slices  of  Nonverbal  and  Physical  Attrachiveness.   Journal  of  Personaly  and  Social
Psychology 64 (3). pp. 341-441.
Azhim, S. 2002.  Membimbig Anak Terampil Berbahasa.  Jakarta: Gema Insani.
Birdwhistell,  R.L.  1985.   Kinesics  and  Context:  Essays  on  Body  Motion  Communication. 
USA: University of Pennsylvania Publication.
Gumperz, J. J. dan Dell H. 1972.  Directions in Sociolinguistics . New York: Holt, Rinehart.
Hymes,  D.  1972.  “On  Communicative  Competence”  dalam  J.B  Pride  dan  J.  Holmes  Ed.
Sociolinguistics.  Penguin, Harmondsworth.  
Johnson,  D.W.  1986.   Reaching  Out:  Interpesonal  Effectiveness  and  Self  Actualization.     
Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Karp  D.    A.  and  Yoeds,  W.C.  1986.   Sociology  and  Everybody  Life.   USA:  FE.  Peacock
Publisher Inc.
Latipun. 1996.  Psikologi Konseling.  Malang: UMM Press.
Muhammad, A. 1995.  Komunikasi Organisasi.  Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana, D.  2002.  Ilmu  Komunikasi Suatu Pengantar . Bandung: PT. Surya  Abadi. Remaja
Rosdakarya.
Nababan,  P,W,J.  1979. “Sosiolinguistik Selayang Pandang”  dalam   Pengajaran  Bahasa dan
Sastra  Tahun V Nomor 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Poedjosoedarmo, S. 1978. “Language Etiquette in Indonesian” dalam   Spectrum , Udin  (Ed.).
Jakarta: Dian Rakyat.
Richmont, V.P., McGraowskey, J.C. Payne, S.K. 1991.  Nonverbal Behavior in Interpersonal
Relations.  Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall.
Samovar, L. A. dan Richard E. P. 1997.  Communication and Human Interaction.  Edisi ke-2.
Glenville, III: Scott, For esman G. co.
 Schultze, Q. J. 1991.  Winning Your Kids Back from the Media.  New York: Sovereign World   
Taufik, T. 2006.  Kesepadanan Komunikasi Verbal dan Unsur Nonverbalnya dalam Interaksi
Guru-Siswa  di  Kelas  1  Sekolah  Dasar  Kartika  Padang.   Disertasi.  Malang:  Progran
Pascasarjana Universitas Negeri Malang.   

Whiteside, R.L. 1996.  Bahasa Wajah.  Jakarta: Penerbit Arcan.

0 komentar:

Posting Komentar