Rangkuman Theories of Learning

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Teori-Teori Tentang Belajar

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Riset Menuju Proses Pembelajaran Modern

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pengaplikasian Metode Belajar

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pertanyaan yang Belum Terjawab

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 25 Juni 2014

BUDAYA TUTUR BAHASA INDONESIA


TUGAS 9B

Judul Jurnal       :  Budaya Tutur Bahasa Indonesia dan
                             Kontribusinya Bagi Pendidikan Etika di
                             Sekolah Dasar

Penyusun          : Sukatman, FKIP Universitas Jember

Nuanza-Ok.blogspot.com
Foto diambil dari internet


Abctract
In  a  language  needs  to  consider  certain  things  that  are  common  rule language,  namely  (1)  setting  and  atmosphere  of  the  talks,  (2)  who  is  the  speaker participants  ,  (3)  a  clear  discussion  purposes,  (4)  the  order,  rule,  or  turn  speech,  (5) appropriate  subject,  (6)  tool  or  speech  channels  are  used,  (7)  norms  or  manners prevailing in the society, and (8) appropriate  various languages . There are a number of cultural foundation of speek in Indonesian that needs to be adhered to be a polite speech communication.  The  basic  rule  in  question  is  (1)  an  open  and  friendly  attitude,  (2) consideration  of  taboo  language,  (3)  the  use  of  scientific  language,  (4)  refining  the language  (euphemism),  (5)  the  use  of  special  normative  expression,  (6)  the  use  of pronouns  correctly,  (7)  the  choice  of  words  which  are  smoother,  and  (8)  the  use  of appropriate body language. Culture of said in Indonesian language needs to be taught in primary schools as a means of ethical education 
 Abstrak:  Dalam berbahasa perlu  me mpertimbangkan hal-hal tertentu yang merupakan kaidah  umum  berbahasa,  yaitu  (1)  seting  dan  suasana  pembicaraan,  (2)  siapa  peserta wicaranya,  (3)  tujuan  pembicaraan  yang  jelas,  (4)  urutan,  aturan,  atau  giliran    wicara,
(5)  topik  pembicaraan  sesuai,  (6)  alat  atau  saluran  wicara  yang  digunakan,  (7)  norma
atau  sopan  santun yang  berlaku  di  masyarakat,  dan (8)  ragam  bahasa yang  tepat.  Ada sejumlah  budaya  tutur  dasar  BI  yang  perlu  dipatuhi  agar  tuturan  komunikasi  terasa sopan.  Aturan  dasar  yang  dimaksud  adalah 
(1)  sikap  terbuka  dan  bersahabat, 
(2) pertimbangan  tabu  bahasa, 
(3)  penggunaan  bahasa  ilmiah, 
(4)  penghalusan  bahasa (eufemisme), 
(5)  penggunaan  ungkapan  normatif  khusus,  (6)  penggunaan  pronomina secara  tepat,
(7)  pemilihan  kata  yang  bernilai  rasa  lebih halus,  dan  (8)  penggunaan bahasa  tubuh  secara  tepat.  Budaya  tutur  bahasa  Indonesia  perlu  diajarkan  di  sekolah dasar sebagai sarana pendidikan etika. 
 Kata kunci:  budaya tutur,  bahasa Indonesia, pendidikan etika

PENDAHULUAN
Etika  bahasa  adalah  suatu  kaidah  normatif  penggunaan  bahasa  yang  merupakan pedoman umum dan disepakati oleh masyarakat pengguna bahasa bahwa cara yang demikian itu  diakui  sebagai  bahasa  yang  sopan,  hormat,    dan  sesuai  dengan  tatanilai  yang  berlaku dalam  masyarakat  bahasa  yang  bersangkutan.  Dalam  konteks  berbahasa  Inggris  Gumpersz dan  Hymes,  (1972)  menemukan  aturan  umum  berbahasa  secar a  baik.  Apabila  seseorang berbahasa  perlu    mempertimbangkan  hal-hal  tertentu,  yaitu  (1)  seting  dan  suasana pembicaraan,  (2)  siapa  peserta  wicaranya  (orang  pertama,  kedua,  atau  bahkan  ketiga),  (3) tujuan pembicaraan yang  jelas,  (4) urutan, aturan, atau giliran   wicara (cara menyela secara benar),  (5) topik pembicaraan sesuai, (6) alat atau saluran wicar a yang digunakan (telepon, surat, telegram dan  sebagainya mempunyai aturan tersendiri),  (7) norma atau sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat bahasa yang bersangkutan, dan (8)  ragam bahasa yang tepat (resmi, santai, ilmiah, dan sebagainya).  
Hymes  (1972)  membuat  akronim  tentang  santun  berbahasa  tersebut  di  atas  dengan
SPEAKING . Maksudnya adalah sebagai berikut:
S (etting and Scene) (situasi wicara/berbahasa)
P (articipants) (peserta)
E (nds) (purpose and goal) (tujuan)
A (ct sequences) (urutan wicara)
K (ey) (tone or spirits of act) (nada wicara)
I (nstrumentalities) (alat atau salluran wicara)
N (orms (of interaction and interpretation) (norma atau aturan)
G (enres (bentuk dan ragam bahasa)
Prinsip  dasar  wicara  tersebut  perlu  dipatuhi  oleh  seseorang  dalam  wicara  agar
wicaranya  berjalan  dengan  baik,  sopan,  dan  tidak  menimbulkan  kesalahpahaman. Pembicaraan  di  kantor,  pasar,  rumah  sakit,  masjid,  kampus,  dan  sebagainya  akan mempengaruhi  perbedaan  penggunaan bahasa. Suasana  sedih,  senang, santai,  resmi,  marah, takut,  dan  sebagainya  juga  mempengaruhi  penggunaan  bahasa.  Jadi,  seting  dan  suasana pembicaraan  menuntun  pewicara  untuk  memilih  dan  menyesuaikan  ragam  bahasa  yang sesuai.    Siapa partisipan yang diajak wicara menentukan pilihan kata sapaan dan ragam tutur. Faktor  penentu  pemilihan  bahasa  dari  segi  partisipan  tersebut  dapat  berupa  umur,  jabatan organisasi,  silsilah  keluarga,  status  sosial,  pendidikan,  dan  bahkan  ada  gejala  tingkat kekayaan juga mempengaruhi pilihan kata dalam berbahasa. Tujuan  pembicaraan  berhubungan  erat  dengan  pilihan  ragam  bahasa.  Tujuan  tutur mendidik,  merayu, memarahi,  meminta  tolong,  menyanjung,  dan  sebagainya,  tiap  kegiatan tersebut mempunyai pilihan kata yang berbeda.  Dalam sebuah percakapan antara dua orang atau lebih ada aturan cara membuka percakapan, kapan harus berbicara (giliran wicara), cara menyela, dan cara menutup percakapan, secara baik.  Suasana pembicaraan seperti marah, merayu, bahagia, sedih dan sebagainya menjadi pertimbangan  dalam  memilih  kata  atau  ragam  bahasa  yang  sesuai.    Penggunaan  alat komunikasi, seperti telepon, surat, telegram, faksimile, dan sejenisnya juga menentukan cara dan  ragam  bahasa  yang  dipergunakan.  Norma  sosial  yang  berlaku  di  masyarakat  seperti agama  dan  kesukuan  berpengaruh  terhadap  etika  bertutur  sapa.  Selanjutnya,  penutur  perlu mempertimbangkan  ragam  bahasa  yang  digunakan,  sesuai  dengan  kebutuhan;  misalnya: ragam santai, ragam resmi, ragam usaha (konsultatif), ragam beku (upacara, undang-undang), dan ragam  akrab.  Aturan  tersebut jika  dilanggar  akan  memberikan kesan bahwa  pembicara tertentu  dikesani  tidak  sopan.  Aturan  di  atas  berlaku  pula  dalam  sopan  santun  berbahasa
Indonesia, dan merupakan prinsip umum. 

Kaidah Tutur  
Secara  khusus,  ada sejumlah aturan  tutur dasar BI  yang  perlu dipatuhi agar  tuturan komunikasi  terasa  sopan.  Aturan  dasar  yang  dimaksud  adalah 
(1)  sikap  terbuka  dan bersahabat, 
(2)  pertimbangan  tabu  bahasa, 
(3)  penggunaan  bahasa  ilmiah, 
(4)  penghalusan bahasa,
(5) penggunaan ungkapan normatif khusus,
(6) penggunaan  pronomina secara tepat,
(7)  pemilihan  kata yang bernilai rasa lebih  halus,  dan
(8)  penggunaan bahasa  tubuh  secara tepat (bandingkan dengan Poedjosoedarmo, 1978:400-419).
1)   Sikap Terbuka dan Bersahabat
Sikap  terbuka  untuk  bisa  mendengarkan  keluhan  dari  siapa  saja  dalam  masyarakat tutur  BI  diakui  sebagai  sikap  yang  sopan  dalam  tindak  tutur.  Sebab  itulah,  orang  yang menolak diajak bicara atau tidak merespon pertanyaan dikesani sebagai orang yang sombong dan kurang sopan. Cara menanggapi keluhan atau pembicaraan dengan bersahabat juga diakui sebagai  tatacara  yang  sopan dalam bertutur.  Cara  yang  demikian  akan membentuk suasana tutur yang kondusif, sehingga komunikasi berjalan secara baik. Penolakan  terhadap  pertanyaan  atau tidak  mau bicara  masih dalam  batas kesopanan apabila yang diajak bicara (1) betul-betul tidak ada waktu, (2) tidak mempunyai kewenangan tentang hal  yang dibicarakan, (3) menolak secara sopan, misalnya: maaf kali ini saya sibuk, apa kita bisa bicara  nanti sore? 
2)   Pertimbangan Tabu Bahasa
Dalam kegiatan tutur sehari-hari penggunaan kata tertentu perlu dihindari karena nilai
rasanya tidak sesuai. Jika dipaksakan dipakai biasanya menimbulkan kesan jorok, vulgar, dan tidak sopan.  Kelompok kata pada kolom yang kedua  apabila dipakai akan terasa lebih sopan jika dibandingkan dengan kelompok kata pada kolom pertama.  Perhatikan kelompok kata di bawah ini.
Kesopanan  tutur  bisa  diwujudkan  dengan  menggunakan  kata-kata  ragam  ilmiah, karena ragam kesehariannya bernilai rasa kurang baik. Kelompok kata pada kolom kedua di bawah ini, nilai  rasanya lebih baik (lebih sopan)  dibandingkan  dengan kelompok kata pada kolom pertama, karena kelompok kata kolom pertama terasa vulgar  (agak jorok).  Penghalusan Bahasa (Eufemisme)  4) 
Untuk  bertutur  secara  sopan,  masyarakat  bahasa  Indonesia  sering  menghaluskan  kata-kata yang dianggap kasar. Penghalusan tersebut dilakukan dengan cara mencari padanannya yang secara  semantis relatif  bersinonim, dan bernilai rasa lebih santun.  Penggunaan bentuk halus tersebut  berfungsi  untuk  menghindari  kesan  tidak  sopan,  dan  salah  paham.  Misalnya: tersinggung  dengan  penggunaan  kata  tertentu.  Gejala  penghalusan  kata-kata  ini  dikenal dengan gaya eufemisme. Kelompok kata pada kolom kedua di bawah ini nilai rasanya lebih sopan    dibandingkan  dengan  kelompok  kata  pada  kolom  pertama. 
5)   Penggunaan Ungkapan Normatif  Khusus Ada  sejumlah  ungkapan  khusus  dalam  bahasa  Indonesia,  yang  apabila  digunakan  dalam bertutur  akan terasa  sopan. Ungkapan khusus  tersebut dapat menghindarkan pembicara dari kesan 
(a) mendikte,  (b)  asal  menyuruh,  (c)  memandang  rendah  orang  yang  dikenai  tindakan,  dan  (d)  “sok
kuasa”. Perhatikan contoh berikut.
1)    Maaf, bisa mengganggu sebentar , mau minta rekomendasi.
2)Mohon (dengan kerelaan hati)   untuk memberi sumbangan bagi penderita bencana banjir.
3) Dimohon (dengan hormat)  untuk menunggu giliran.
4)  Boleh minta tolong,  untuk membelikan tiket pesawat?
5)  Sebaiknya  Ibu pulang, masalahnya sudah selesai.
6) Akan lebih baik jika  Bapak tidak berdiri memenuhi jalan ini.
Kalimat-kalimat  di  atas  terasa  lebih  sopan  jika  dibandingkan  dengan  kalimat  di  bawah  ini, walaupun ide dasarnya relatif sama.
1)  Mau minta rekomendasi.
2) Minta sumbangan untuk penderita bencana banjir.
3)    Tunggu giliran.
4)    Belikan tiket pesawat!
5)    Pulanglah, urusanmu sudah selesai.
6)    Dilarang berdiri di jalan ini.

Penggunaan Pronomina
Kata  ganti  orang  (pronomina)  pada  kolom  yang  pertama  biasa  dipakai untuk  orang yang setara umur, jabatan, status sosial, dan telah akrab. Pronomina pada kolom kedua biasa dipakai  untuk  berbicara  dengan  orang  yang  perlu  dihormati  secara  proporsional  dan tidak terlalu feodal. Penggunaan pronomina pada kolom kedua di bawah ini biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat, dan nilai rasanya secara objektif relatif sopan dibandingkan dengan pronomina pada kolom pertama.  Kata Ganti Orang                            Bentuk Halus (Sopan)   Bentuk  Biasa Saya, Hamba  Pertama  Aku Anda, Saudara, Tuan, Nyonya,  Kedua    Kamu, Engkau (Kau) Beliau, Bapak, Ibu  Ketiga Tunggal       Dia, ia Bapak-bapak, Ibu-ibu, Tuan-tuan,  Ketiga Jamak        Mereka
Nyonya -nyonya, Yang Mulia para                    
(Duta besar) ….                     
7)   Pemilihan Kata yang Bernilai Rasa Lebih Halus
Dalam bertutur, pilihan kata yang bernilai rasa halus diperlukan sekali. Dalam bahasa Indonesia  ada  kata  yang  ide pokoknya  sama tetapi  nilai  rasanya  sangat berbeda.  Kata-kata tertentu  hanya  cocok  digunakan  bagi  “penjahat”  dan  bahkan,  hanya  cocok  untuk  binatang saja.
8)   Penggunaan Bahasa Tubuh secara Tepat
Dalam  kegiatan  tutur  sehari-hari  masyarakat  BI  lazim  menggunakan  bahasa  tubuh
(gestur) secara proporsional. Penggunaan bahasa tubuh tersebut biasanya mempertimbangkan
mitra  tutur.  Apabila  berbicara  dengan  orang  yang  perlu  dihormati,  dan  apalagi  lebih  tua
umurnya,  akan  dikesani  kurang  sopan  jika  berbicara  sambil 
(1) memandangi  mata  terus-menerus,
(2) berkacak pinggang,
(3) membuang muka,
(4) meletakkan kaki di atas meja,
(5) menyilangkan kaki di atas paha (“jigang”), (6) menunjuk-nunjuk mitra tuturnya dengan jari, (7)  menunjukkan sesuatu dengan tangan kiri atau kaki, dan (8) memberikan  sesuatu dengan tangan kiri. Pada  masyarakat  tertentu  (etnis  tertentu)  dalam  berbahasa  Indonesia  sering menggunakan  gestur  dari kultur  lokal  yang  berasal  dari  bahasa  daerah  yang  bersangkutan. Misalnya, masyarakat Jawa dalam bertutur BI akan dinilai lebih sopan  apabila (1)  menaruh kedua  tangan  di  depan(“ngapu  rancang”),  (2)  berjalan  dengan  agak  membungkuk  apabila lewat  di  depan  orang  yang  lebih  tua  (perlu  dihormati),  (3)  mempersilakan  seseorang  atau menunjuk sesuatu dengan ibu jari tangan kanan.

Bentuk, Makna, dan Fungsi Bahasa Tubuh
1)   Bentuk Bahasa Tubuh
Komunikasi  bahasa  tubuh  dapat  dipandang  dalam  perspektif  kajian  yang  berbeda-beda.    Setidaknya  ada  dua  aliran.  Pertama,  para  pakar  yang  tergolong  sebagai  pemikir dialektika  dalam  komunikasi  yang  memandang  komunikasi  bahasa  tubuh  sebagai  antitesis dari komunikasi verbal. Aliran ini diwakili oleh Richmond, dkk., (l99l), Schutz (l97l), Abizar (l988),  Muhammad  (l995).  Kedua,  para  pakar  yang  menganut  pandangan  interaksionisme, yang diwakili Karp dan Yoles (l986). Bagi  penganut  paham  dialektika,  komunikasi  bahasa  tubuh  dipahami  sebagai  salah satu bentuk komunikasi manusia yang dibedakan dari komunikasi verbal. Perbedaan tersebut tampak  dalam  suatu  kondisi  dialektis,  yaitu  proses  penyampaian  pesan  dilakukan  melalui ungkapan  bahasa  tubuh  dengan  tidak  disertai  kata-kata,  seperti  pada  komunikasi  verbal. Dalam  perspektif  ilmiah,  komunikasi  bahasa  tubuh  oleh  Richmond,  dkk.,  (l99l)  diartikan sebagai  “…the mode of communication (such  gerture and facial expression) without v erbal language“.  
Karp  dan  Yoels  (1982)  mendefenisikan  komunikasi  bahasa  tubuh  dalam  perspektif interaksi  simbolik.  Dalam  perspektif  yang  demikian  komunikasi  bahasa  tubuh  dipandang sebagai  salah  satu  bentuk  interaksi dengan menggunakan simbol-simbol bahasa tubuh  yang diciptakan manusia. 
Berpijak  pada  pemikiran  yang  dikemukakan  para  pemikir  dialektika  dan interaksionisme,  dapat  dipahami  bahwa  komunikasi  bahasa  tubuh  adalah  suatu  bentuk
komunikasi untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan berbagai simbol bahasa tubuh seperti perilaku bahasa tubuh, simbol budaya, dan simbol sosial. Pada pembahasan ini istilah perilaku bahasa  tubuh dan komunikasi bahasa tubuh  diartikan  sama, karena setiap aktivitas komunikasi bahasa tubuh antarmanusia, selalu melibatkan perilaku bahasa tubuh.
Bahasa  tubuh  memiliki  karakteristik  umum  (a)  sebagai  cara  manusia  untuk mengekspresikan  perasaan,  (b)  merupakan  ekspresi  perilaku  sehari-hari,  (c)  makna  komunikasi bahasa  tubuh  sangat  tergantung pada  konteks  tertentu;  (d)  pesan  bahasa tubuh mendahului  pesan  verbal, (e)  bahasa tubuh  lebih  jujur  dibandingkan dengan  bahasa  verbal, dan  (f)  komunikasi  bahasa  tubuh  kadang-kadang  sulit  untuk  diinterpretasikan  sehingga membutuhkan adanya pola interpretasi yang holistik (Muhammad, 1995; Latipun, 1996).
 Wujud bahasa tubuh dapat dikelompokkan menjadi sepuluh bentuk sebagai berikut.        
(1)  Kontak  mata   yang  unsur-unsurnya  terdiri  dari:  (a)  melihat  pada  objek  tertentu,  (b) melihat ke bawah, (c) tertuju pada orang lain, (d) memandang dengan sorotan tajam, dan (e) berganti-ganti dari satu objek ke objek yang lain.
(2)    Postur Tubuh  yang unsur-unsurnya terdiri dari (a) membungkuk, (b) tegak, (c) posisi duduk, (d) posisi berdiri, dan (e) berjalan/berlari.
(3)  Kulit  yang terdiri dari (a) pucat, (b) berkeringat, (c) muka merah untuk menunjukkan rasa malu; (4) bulu roma tegak sebagai tanda ketakutan.
(4)  Gerakan  tangan  dan  lengan  yang  berdiri  dari:  (a)  menunjuk  objek,  (b)  membentuk ukuran atau bentuk, dan (c) menunjukkan tantangan.
(5) Tingkah laku membebankan diri  yang meliputi menggigit kuku, dan menarik rambut.
  (6)    Tingkah laku pengulangan  yang  biasanya ditafsirkan sebagai tanda  kegelisahan  atau ketakutan. Unsurnya meliputi  (a) memukul  dengan  jari, (b) mengeliat-geliat, dan  (c) gemetar.
(7)    Ekspresi  wajah   untuk  menunjukkan  sikap,  pikiran,  perasaan  suka  atau  tidak  suka. Unsur-unsurnya  meliputi  (a)  tidak  berubah,  (b)  mengerutkan  dahi,  (c)  mengerutkan hidung, d) mengigit bibir, dan (e) perubahan bentuk bibir (bersiul, senyum, bersungut-sungut).
(8)   Sentuhan   yang  berupa  memberi  perhatian  dengan  menepuk  bahu,  dan  ungkapan persahabatan, seperti merangkul dan  jabat tangan.
(9)   Perawatan badan  yang meliputi (a) pewarnaan dan gaya menata rambut, (b) tatarias, dan (c) penggunaan parfum.
(10)    Tanda  atau  komando   yang  berupa ( a)  menunjuk dengan  jari,  (b) menempelkan  jari pada  bibir  tanda  diam,  (c)  menunjukkan  posisi  sesuatu,  (d)  tanda  jempol  untuk menunjukkan  persetujuan,  (e)  melambaikan  tangan,  (f)  mengedipkan  mata,  dan  (g) mengangguk (setuju), menggeleng atau tanda tidak setuju.
 2)   Makna Bahasa  Tubuh
Bahasa  tubuh  manusia  memiliki  makna  dan  peran  yang  besar  dalam  komunikasi, walaupun selama ini bahasa verbal selalu dianggap sebagai alat komunikasi terandal dengan mengabaikan  unsur-unsur  non  verbal.  Makna  yang  terkandung  dalam  bahasa  tubuh  dapat dikelompokkan  menjadi  tiga,  yaitu  (1)  makna  personal,  (2)  makna  sosiobudaya,  dan  ((3) makna religius (Taufik, 2003). Makna  personal   terkait  dengan  pemakaian  zona  pembicaraan  sebagai  suatu  cara untuk  mengungkapkan  perasaannya  yang  bersifat  pribadi. Zona  wicara terbagi menjadi  (1) zona intim dekat, (2) zona intim, (3) zona pribadi, (4) zona social, dan (5) zona publik.
1)    Zona Intim Terdekat (0-15 cm/0-6 inci) Pada zona ini hanya kekasih, teman akrab, atau kerabat dekatnya  yang boleh masuk  sampai zona ini dan biasanya mereka akan memeluk atau menyentuhnya. Jika seseorang yang tidak disukai atau tidak dikenal dengan baik masuk ke zona intim ini, reaksi emosional dari orang ini akan muncul.
2)    Zona Intim (15-45 cm/6 inci – 1 kaki 6 inci) Seseorang  dengan  kemauan  sendiri  akan  membiarkan  kekasih,  teman  dekat,  atau kerabatnya masuk zona ini, tetapi zona ini tetap dijaga agar bebas dari gangguan orang asing demi kenyamanan dan  keamanan. Seseorang yang  tidak dikenal baik  atau tidak  disukainya masuk ke zona pribadi, individu ini akan merasa stress.  Badannya  mungkin secara otomatis akan mengalami perubahan yang bertujuan menyiapkan diri untuk menghadapi sentuhan yang tidak diinginkan atau serangan fisik.
3)  Zona Pribadi (46 cm – 1,2 m/1 kaki 6 inci – 4 kaki)
Zona  ini  adalah  jarak terjauh yang  ingin dipertahankan  ketika  seseorang  mengobrol dengan orang lain pada peristiwa sosial. Berdiri lebih dekat dari jarak ini terasa  terlalu intim untuk kenalan  baru. Akan tetapi  berdiri terlalu jauh juga bukan  tindakan yang tepat.  Untuk sejenak,  seorang  individu  secara  akan merasa  terancam jika   seseorang berdri terlalu  dekat dengannya,  tetapi  ia  juga  merasa  ditolak  jika  seseorang  berdiri  terlalu  jauh  darinya.  Ini menandakan bahwa manusia adalah  makhluk kompetitif walaupun sosial.
4)    Zona Sosial (1, 2, 3, 5 m/4-12 kaki)
Zona ini lebih jauh jaraknya dibandingkan denganb zona sosial yang digunakan oleh orang yang saling mengobrol dalam suatu pesta. Zona sosial digunakan di toko-toko, di jalan, atau  di  rumah, ketika  pembeli atau  klien berbicara  dengan penjaga  toko  atau pemilik  toko. Zona Sosial juga digunakan pada interaksi bisnis.
5)    Zona Publik (lebih dari 3,6 m/lebih dari 12 kaki)
Seseorang  yang  berbicara  di  depan  sekelompok  orang  akan  cenderung  berdiri sekurang-kurangnya sejauh zona ini terhadap barisan terdepan dari pemirsa yang hadir.  Makna  sosiobudaya   bahasa  tubuh  terkait  dengan  konteks budaya etnis atau  bangsa tertentu.  Di  beberapa  negara,  anggukan  kepala  malah  berarti  “tidak”,  seperti  di  Bulgaria, sementara isyarat untuk “ya” di negara itu adalah menggelengkan kepala.  Dalam  budaya Arab,  menggelengkan  kepala  berarti  “ya”.  Ada  sebuah  anekdot  yang  memilukan.  Kartini, seorang  TKW  Indonesia  dituduh  telah  melakukan  perzinahan  dengan  seorang  pekerja  asal India  dan  dinyatakan  bersalah  karena  ia  menggelengkan  kepalanya  ketika  ia  ditanya  oleh jaksa  dan  hukum.  Dalam  sidang  itu,  Kartini  tidak  didampingi  penerjemah,  sementara kemampuannya  berbahasa  Arab  amat  kurang.  Semua  pertanyaan  dijawabnya  dengan gelengan  kepala  yang  berarti  “tidak”,  padahal  di  negara  itu  gelengan  kepala  berarti  “ya” (Tempo,  2000).  Di  Indonesia  orang  membungkukkan  badannya  lebih  rendah  ketika berjabatan  tangan  dengan  orang  lain  yang  dihormati.  Di  Jawa  misalnya,  jika  seseorang memberikan  dan  menerima  sesuatu  dengan  tangan  kiri  dianggap  perilaku  kurang  beradab. Jika,  terpaksa  harus  menggunakan  tangan  kiri  biasanya  mereka  mohon  maaf  dulu  dengan kata:  “amit”  dan  itupun  hanya  bisa  dilakukan  kepada  orang-orang  yang  dianggap  akrab. Salam gaya  Malaysia:  berdiri  dengan  mengacungkan  tangan,  merapatkan  ujung-ujung  jari, dan kemudian meletakkan tangan di dada.
Makna  religius   bahasa  tubuh  terkait  dengan  komunikasi  manusia  dengan  Sang Pencipta.  Setiap  agama  mempunyai  gerakan  bahasa  tubuh  sesuai  dengan  kepercayaan  dan religius  masing-masing  yang  telah  baku.  Misalnya,  umat  Islam  dalam  melakukan  shalat, bahasa  tubuhnya  sesuai  dengan  tatatertib  gerakan  tubuh  yang  sudah  ditentukan  urutannya dalam rukun shalat (Taufik, 2006). Misalnya: mengangkat kedua tangan, tangan bersedekap, ruku’,  i’tidal,  sujud, duduk  antara  dua  sujud, sujud  kedua,  duduk tahiyat  akhir,  dan  berdoa dengan mengangkat kedua tangan. Umat Kristen Protestan, gerakan bahasa tubuhnya berupa  melipat tangan. Juga pendeta merentangkan kedua tangan dalam keadaan tertelungkup   dan para jamaat menerima dengan tangan direntangkan dalam keadan terbuka. 
 3)   Fungsi Bahasa Tubuh
Bahasa  tubuh  berfungsi  (1)  repetisi  yaitu  mengulang-ulang  kembali  gagasan  yang sudah  disajikan  secara  verbal,  seperti  tanda  setuju  secara  verbal  dengan  cara  sambil mengangguk  berkali-kali;  (2)  kontradiksi  yaitu  penolakan  atau  memberi  arti  lain  terhadap pesan  verbal,  seperti  memuji  dengan  mencibirkan  bibir  seraya  berkata  “anda  hebat”;  (3) aksentuasi  yaitu  memberi  penegasan terhadap  pesan  verbal, seperti  menyatakan penyesalan sambil  memukul  sesuatu,  (4)  fungsi  komplementer  yaitu  dimaksudkan  untuk  melengkapi makna  pesan  verbal,  (5)  subtitusi,  yaitu  menggantikan  pesan  verbal,  seperti  menyatakan pujian dengan cara mengacungkan jempol tanpa menggunakan kata-kata ( Pease, 1996). Buber (1957) membedakan tiga bentuk relasi manusia, yaitu relasi (1) eksistensi personal, (2) eksistensi sosial, dan (3) eksistensi religius. Dalam relasi eksistensi personal, manusia selalu membutuhkan  komunikasi  sebagai  suatu  cara  untuk  mengungkapkan  perasaannya  yang bersifat  pribadi.  Dalam  relasi  eksistensi  sosial,  komunikasi  diperlukan  dalam hubungannya dengan  aspek  sosial  manusia  yang  tampak  dalam  relasi  dengan  sesama  maupun  dengan lingkungan  sekitarnya.  Dalam  komunikasi  manusia  dengan  Sang  Pencipta  terdapat    relasi eksistensi religius. Kontribusi Budaya Tutur bagi Pendidikan Etika di SD Seperti dipaparkan bagian terdahulu dapat dilihat bahwa dalam kegiatan tutur bahasa Indonesia terdapat muatan etika (sopan santun). Karenanya untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik diperlukan sejumlah pengetahuan etika tutur BI. Belajar etika tutur berarti belajar
bersopan  santun.  Materi  etika  tutur  BI  perlu  disampaikan  untuk  siswa  SD,  karena  dalam Kurikulum    Tingkat  Satuan  Pendidikan  untuk  sekolah  dasar  (KTSP  SD)  pendidikan  etika disampaikan secara terpadu dengan matapelajaran lain, termasuk BI.  Penyampian materi ini bagi siswa SD mempunyai tiga kontribusi yaitu
(1) siswa dapat belajar  keterampilan  berbicara  secara  benar, 
(2)  siswa  dapat  mempelajari  etika  atau  sopan santun untuk bekal pergaulan sosial maupun pergaulan bisnis, (3) siswa dapat belajar bahasa dalam  konteks  nyata  dan  sesuai  kebutuhan  hidup,  dan  car a  belajar  ini  sesuai  dengan pendekatan kontekstual yang sekarang mulai banyak diterapkan. 
Pentingnya  pendidikan  etika  dewasa  ini  tidak  bisa  dipungkiri.  Seper ti  diketahui sekarang ini terjadi krisis multi dimensi, termasuk krisis moral. SD merupakan titik awal yang baik  untuk  memulai  dan  memperkuat  kembali  moralitas  positip  anak  didik  yang  mereka peroleh  dari  keluarga, kelompok  bermain, dan pendidikan  prasekolah  (taman kanak-kanak). Pendidikan  moral  ini  sebaiknya diajarkan  secara  berkesinambungan  ke  jenjang  yang  lebih tinggi, bahkan sampai perguruan tinggi.


KESIMPULAN

Dalam berbahasa perlu  mempertimbangkan kaidah umum berbahasa, yaitu (1) seting dan  suasana  pembicaraan,  (2) siapa  peserta  wicaranya (orang  pertama,  kedua, atau  bahkan ketiga),  (3)  tujuan  pembicaraan  yang  jelas,  (4)  urutan,  aturan,  atau  giliran    wicara  (cara menyela  secara  benar),    (5)  topik  pembicaraan  sesuai,  (6)  alat  atau  saluran  wicara  yang digunakan (telepon, surat, telegram dan sebagainya mempunyai aturan tersendiri),  (7) norma atau sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat bahasa yang bersangkutan, dan (8)
ragam bahasa yang tepat (resmi, santai, ilmiah, dan sebagainya).  Secara khusus, ada sejumlah budaya tutur yang merupakan aturan tutur dasar BI yang perlu dipatuhi agar tuturan komunikasi terasa sopan. Aturan dasar  yang dimaksud adalah (1) sikap terbuka dan bersahabat, (2) pertimbangan tabu bahasa, (3) penggunaan bahasa ilmiah, (4)  penghalusan  bahasa  (eufemisme),  (5)  penggunaan  ungkapan  normatif  khusus,  (6) penggunaan pronomina secara tepat, (7) pemilihan kata yang bernilai rasa lebih halus, dan (8) penggunaan bahasa tubuh secara tepat. Bahasa  tubuh  adalah  suatu  bentuk komunikasi  penyampaian  pesan  yang   dilakukan melalui penggunaan berbagai simbol. Fungsi bahasa tubuh mencakup fungsi (1) r epetisi, (2) kontradiksi, (3) aksentuasi, (4) komplementer, dan (5) substitusi. Makna bahasa tubuh dalam perilaku manusia mencakup makna personal, sosiobudaya,  dan religius.  Bahasa tubuh perlu dikaji  lebih  lanjut,  khususnya  bahasa  tubuh  dalam  konteks  sosiobudaya  bahasa  Indonesia. Etika tutur BI perlu diajarkan dalam rangka mengembangkan keterampilan berbahasa secara
baik dan mengembangkan moral positip siswa.

DAFTAR PUSTAKA
 Abizard, M. 1988.  Komunikasi Organisasi.  Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Ambady, N. and Roseuthal, R. 1993.  Half a Mimite Predicting Teacher Evalutions from then
Slices  of  Nonverbal  and  Physical  Attrachiveness.   Journal  of  Personaly  and  Social
Psychology 64 (3). pp. 341-441.
Azhim, S. 2002.  Membimbig Anak Terampil Berbahasa.  Jakarta: Gema Insani.
Birdwhistell,  R.L.  1985.   Kinesics  and  Context:  Essays  on  Body  Motion  Communication. 
USA: University of Pennsylvania Publication.
Gumperz, J. J. dan Dell H. 1972.  Directions in Sociolinguistics . New York: Holt, Rinehart.
Hymes,  D.  1972.  “On  Communicative  Competence”  dalam  J.B  Pride  dan  J.  Holmes  Ed.
Sociolinguistics.  Penguin, Harmondsworth.  
Johnson,  D.W.  1986.   Reaching  Out:  Interpesonal  Effectiveness  and  Self  Actualization.     
Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Karp  D.    A.  and  Yoeds,  W.C.  1986.   Sociology  and  Everybody  Life.   USA:  FE.  Peacock
Publisher Inc.
Latipun. 1996.  Psikologi Konseling.  Malang: UMM Press.
Muhammad, A. 1995.  Komunikasi Organisasi.  Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana, D.  2002.  Ilmu  Komunikasi Suatu Pengantar . Bandung: PT. Surya  Abadi. Remaja
Rosdakarya.
Nababan,  P,W,J.  1979. “Sosiolinguistik Selayang Pandang”  dalam   Pengajaran  Bahasa dan
Sastra  Tahun V Nomor 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Poedjosoedarmo, S. 1978. “Language Etiquette in Indonesian” dalam   Spectrum , Udin  (Ed.).
Jakarta: Dian Rakyat.
Richmont, V.P., McGraowskey, J.C. Payne, S.K. 1991.  Nonverbal Behavior in Interpersonal
Relations.  Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall.
Samovar, L. A. dan Richard E. P. 1997.  Communication and Human Interaction.  Edisi ke-2.
Glenville, III: Scott, For esman G. co.
 Schultze, Q. J. 1991.  Winning Your Kids Back from the Media.  New York: Sovereign World   
Taufik, T. 2006.  Kesepadanan Komunikasi Verbal dan Unsur Nonverbalnya dalam Interaksi
Guru-Siswa  di  Kelas  1  Sekolah  Dasar  Kartika  Padang.   Disertasi.  Malang:  Progran
Pascasarjana Universitas Negeri Malang.   

Whiteside, R.L. 1996.  Bahasa Wajah.  Jakarta: Penerbit Arcan.

MENINGKATKAN APRESIASI BACAAN SISWA SEKOLAH DASAR


TUGAS 9A
Judul Jurnal       :  Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi                                                              Bacaan Cerita Siswa Kelas IV Sekolah Dasar
  Melalui Pendekatan Area Isi

Penyusun          : Suhartiningsih, FKIP Universitas Jember
Nuanza-Ok.blogspot.com
Foto diambil dari internet



Abstract
In  gene ra l,  the  objective  of  this  re search  w as  to  de ve lop the  fifth  yea r stude nts'   ability  in  a ppre ciating  the  story  rea ding  a t  the   elementary  sc hool through  the  content  area  a pproach.  Specific ally,  the  research  objectives  we re  to know  the  students'  abihty  in  finding  the  elements  that  form  the  story,  the  students'  ability  in  finding  the  va lues  that  contain  in  the  story,  and  the  students'  ability  in giving  the  responses  in  the  written  form  about  the  content  of  the  story.  After  the actions  were  done   by  ap plyin g  the   co nte nt  are a   appr oac h  in   the   te ac hing  of  lite rar y  appreciation, the  re sult  obtained were a s follow s : (1) 80% of the stude nts' could find the ele ments that  form the story  correctly, (2)  75%  of  the  students'  could find  the  values  that  contain  in  the   story  correctly,  and  (3)  80            %   of   the  students' could give  written re sponse s a bout the  content  of  the  story  with the  chronologic al language that was easily understood. Abstrak:   Tujuan  penelitian  ini  secara  umum  adalah  untuk  meningkatkan ke mampuan  siswa  kelas  V  dalam  mengapresiasi  bacaan  cerita  di  sekolah  dasar melalui  pe ndekatan  isi. 
Tujuan  khusus  penelitian  ini  untuk  mengetahui  kema mpuan siswa  dalam  menemukan  unsur-unsur  yang  me mbentuk  cerita,  nilai-nilai  yang terkandng  dalam  cerita  dan  memberikan tanggapan  tertulis tentang  isi cerita.         Setelah tindakan  dilakukan  dengan  menerapkan  pendekatan  area  isi  dalam  pembelajaran apresiasi  sastra,  hasil  yang  diperoleh  adalah  sebagai  berikut:  (1)  80%  dari  siswa  bisa menemukan  unsur-unsur  yang  membentuk  cerita  dengan  benar,  (2)  75%  dari  siswa dapat menemukan  nilai-nilai yang  terkandung  dalam cerita dengan  benar,  dan  (3) 80% dari  siswa  bisa  memberikan  tanggapan  tertulis  tentang  isi  cerita  dengan  bahasa  kronologis yang mudah dipahami
Kata kunci: apresiasi sa stra, baca an c erita, pendeka tan area isi 

 PENDAHULUAN
Secara  umum  tujuan  pembelajaran  sastra  sebagaimana  tertuang  dalam  kurikulum Mata  Pelajaran  Bahasa  dan  Sastra  Indonesia  adalah  agar  siswa  mampu  menikmati, memahami,  dan  memanf aatkan  karya  sastra  untuk  mengembangkan  kepribadian, memper luas  wawasan  kehidupan,  serta  meningkatkan  pengetahuan  dan  kemampuan ber bahasa. Secara  khusus  pembelajaran  sastra  di  sekolah  dasar  tekait  dengan  tataran kebahasaan, pemahaman,  dan  penggunaan. Pada t ataran kebahasaan,  pembelajaran sastra diarahkan agar siswa mengenal dan mampu membedakan  bentuk prosa, puisi, dan drama ser ta mampu membedakan ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa yang lainnya.
Pada tataran pemahaman, pembelajaran sastra diarahkan agar  siswa memiliki kegemar an membaca  dan  mendengarkan  karya  sastra  untuk  meningkatkan  kepribadian, mempertajam  kepekaan  per asaan,  dan  memperluas  wawasan  kehidupan,  sedang  pada
tataran  penggunaan,  pembelajar an  sastra  diarahkan  agar   siswa  mampu  memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan dari karya sastra untuk kegjatan berbicar a dan menulis.
Berdasarkan  pernyataan  di  atas  maka  pembelajaran  sastra  hendaknya  kegiatan apr esiasilah  yang  menjadi  tujuan  utama,  sedangkan  per angkat  pengetahuan  sastra diperlukan  guna  mendukung  kegiatan  apresiasi.  Dengan  kata  lain,  dalam  pembelajaran sastra kegiatan  apresiasilah  yang  diutamakan  dan  bukan  pemberian  materi  yang bersifat teoririk.  Hal  ini  sejalan  dengan  pendapat Huck  (1987),  yang  mengatakan  bahwa pembelajaran  sastra  di  sekolah  harus  memberi  pengalaman  pada  siswa  yang  akan ber kontribusi  pada  empat  tujuan,  yakni  (1)  mencar i  kesenangan  pada  buku,  (2) menginterpretas i  bacaan  s astr a,  ( 3)  megembangkan  kesadaran  bersastra,  dan  (4)  mengembangkan apresiasi.
Dari  hasil  pengamatan  di  beberapa  sekolah  dasar,  diperoleh  kenyataan  bahwa
pembelajaran sastra belum berjalan sebagaimana mestinya,  gur u lebih  banyak memberi
materi yang bersif at teor irik dan kur ang memberi latihan pada  kegiatan apresiasi. Padahal sebagimana  dikemukan  oleh  Effendi  (1983),  bahwa  apr esiasi  sastra  adalah  kegiatan menggauli  cipta  sastra  dengan  sungguh-sungguh  sehingga  tumbuh  pengertian, penghayatan, kepekaan kritis, dan  kepekaan  perasaan yang baik terhadap kar ya sastra. Dengan  kata  lain,  bahwa  apr esiasi  sastra  bukanlah  pengetahuan  sastra  yang  harus  dihafalkan  melainkan  suatu  bentuk  kegiatan aktivitas  jiwa.  Dar i  aktivitas  jiwa  inilah diharapkan tumbuh respon emosional dan respon intelekrual pada diri siswa.
Mengembangkan  apresiasi  siswa,  pada  hakikatnya  adalah  membina  dan
mengembangkan  r es pon  emosional  dan  intelekrual  siswa.  Membina  dan
mengembangkan emosi siswa merupakan hal  yang cukup penting untuk dilakukan  karena
berdasarkan hasil penelitian  yang dilakukan  oleh beberapa pakar ,  di antaranya adalah Goleman (1995), menyebutkan bahwa kes uksesan seseorang  bukan hanya terletak pada kecerdasan intelekrual semata. Banyak or ang yang  memiliki IQ tinggi yang gagal dalam hidupnya karena tidak memiliki keceredasan emosional, sebaliknya or ang yang biasa-biasa saja namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi banyak mencapai kesuksesan. Kegiatan  apr esi asi  sebagai  wahana  ya ng  da pat  mem bina  dan mengembangkan  kecerdasan  emosi  siswa  perlu  ditata  secara  optimal.  Salah  s atu  upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kegiatan apr esiasi sastra  dengan  pendekatan  area is i (  content ar ea ) . Pembelajaran apr esias i s as tra dengan pendekatan ar ea isi ini adalah sebuah  pendekatan  yang  mengarahkan  siswa  untuk  dapat  mencari,  menggali,  dan menemukan sendir i hal-hal yang berkaitan dengan unsur -unsur  pembentuk dan isi  yang terkandung  dalam  s ebuah  karya  sastr a.  Untuk  dapat  melakukan  kegiatan  pencarian, penggalian,  dan  penemuan  tersebut  siswa  perlu  diakrabkan  dengan  kar ya  sastra  baik melalui kegiatan menyimak maupun kegiatan membaca sastra.
Pendekatan  area  isi  dalam  pelaksanaannya  berakar  pada  padangan             whole  languange .  Holdaway  (1986),  mengatakan  bahwa  pendekatan      whole  language   adalah sebuah  pendekatan  yang  padu  (     unitied  approach ) ,  yakni  memandang  menyimak, berbicara, membaca, dan menulis sebagai bagian dari keutuhan yang padu. Sementar a itu,
Robb  dalam  Knape  ( 1992) ,  mengemukakan  prinsip  dasar  pengajaran  bahasa  dengan pendekatan   whole  language   ber pijak  pada  ( 1)   keter ampilan    berbahasa    seperti  menyimak,    berbicara,    membaca    dan    menulis   diajar kan  secara  terpadu,  (2)   belajar  dimulai dari keseluruhan ke bagian-bagian, (3)  materi pembelajaran didasarkan pada teks ( literature  centered ),  dan  (4)  belajar  dilakukan  secara  kolabor atif  yang  lebih menekankan  pada  pr oses.  Menurut  Aminuddin  ( 1995) ,  pembelajar an  bahasa  yang berwawas an   whole  language   memiliki  keterpaduan  antara  a)  kebahasaan,  pemahaman, dan penggunaan, b)  isi pembelajaran sesuai dengan pengetahuan siswa, dan c) perolehan pengalaman belajar sesuai dengan kenyataanpenggunaan bahasa dalam kehidupan siswa.
Berangkat dari paparan di atas,  pembelajar an  apresiasi sastra dengan  pendekatan area  isi  ini  dirancang  sebagai  berikut.  Per tama,  siswa  diarahkan  pada  kegiatan mengakr abi karya  sas tr a dengan sungguh- sungguh,  yakni melalui  kegiatan menyimak atau  membaca  kar ya  sastra.  Dari  kegiatan  mengakra bi  ini  diharapkan  tumbuh pemahaman,  baik  pemahaman  akan  unsur- unsur  pembentuk  karya  sastr a  maupun pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra (unsur isi).
Kedua,  hasil  pemahaman  selanjutnya  dipertajam  melalui  kegiatan  diskusi  dan curah  pendapat.  Dalam  hal  ini,  kegiatan  diskusi  dapat  dilakukan  antara  siswa  dengan siswa, atau antar a guru dan siswa. Dari  hasil dis kusi dan curah pendapat  ini diharapkan selain dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap nilai- nilai yang ter kandung dalam karya s astra, juga dapat meningkatkan kemampuan berbicara dan ber nalar siswa.
Ketiga, dari hasil pemahaman selanjutnya dapat  dituangkan dalam bentuk lapor an tertulis.  Melalui  kegiatan  ini  diharapkan  kemampuan  menulis  siswa  juga  meningkat. Dengan  demikian,  apa  yang  dituntut  dalam  pendekatan          whole  language   sebagai wawasan  pendekatan  ar ea  isi  telah  ter penuhi,  yakni  pembelajaran  dimulai  dari menyuruh  siswa  menyimak  atau  membaca,  dilanjutkan  dengan  kegiatan  ber bicar a,  dan terakhir  kegiatan menulis. Dengan  mener apkan  pendekatan  area  isi dalam pembelajaran apresiasi  sastra  diharapkan  pemahaman  siswa  akan  uns ur -unsur  pembentuk  kar ya sas tr a, nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, dan kemampuan berbahasa siswa meningkat.

METODE PENELITIAN
Penelitian  ini  merupakan  penelitian  tindakan  kelas.  Model  penelitian  tindakan kelas  dipilih  dilatarbelakangi  oleh  kenyataan  bahwa  pembelajar an  apresiasi  sastra  di sekolah  dasar  pada  umumnya  belum  berjalan  sesuai  dengan  harapan,  yakni pembelajar an  apresias i  belum  menekankan  pada  kegiatan  apresiasi, sebingga  perlu diupayakan suatu tindakan guna memecahkan per masalahan ter sebut. Model  penelitian  tindakan  kelas  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah model  spiral  sebagaimana  dikemukakan  oleh  Kemmis  dan Mc.Taggart  (1988),  dengan langkah-langkah  (1)  persiapan,  (2)  pelaksanaan,  (3)  pemantauan,  dan  (4)  refleksi  yang dilakukan dalam dua siklus.
Penelitian ini  dilaksanakan di SDN Patr ang I Jember. Dipilihnya  SDN  Patrang I Jember  sebagai  tempat  penelitian  didasarkan  atas  pertimbangan  bahwa  SDN  P atrang  I Jember  sebagai  salah  satu  SD  mitra  lembaga  FKIP  Univer stias   Jember   dalam mempersiapkan  tenaga  pengajar   bagi  lulusan  mahasiswa    PGSD  sebingga  upaya pembenahan  pembelajaran  apr esiasi  sastr a  di  S DN  Patrang  I  Jember  akan  berdampak positif   bagi  pembentukan  calon  gur u  sekolah  dasar  yang  berlangsung  pada  saat pelaksanaan kegiatan PPL.
Subjek  penelitian  ini  adalah  siswa  dan  gur u  kelas  IV   SDN  Patrang  I  Jember. Siswa  kelas  IV  SDN  Patrang  I   Jember  berjumlah  40  orang  siswa.  Mereka  dipantau sebagai  peserta pembelajar an  apresiasi  sastr a.  Guru  kelas  dipantau  sebagai  pelaksana pembelajaran.  Dalam  pelaks anaan  pembelajaran  ini  guru  berpedoman  pada  satuan rencana  pembelajaran  ( RP)  yang  telah  disusun      secara   kolaboratif  antara  dosen  sebagai peneliti dan guru sebagai pelaksana tindakan penelitian. Data  dalam  penelitian  ini  dikumpulkan  dengan         cara  observasi.  Observasi dilakukan  terhadap  proses  berlangsungnya  pembelajaran          apresiasi  sastr a.  Dalam obs er vasi ini dicatat hal- hal penting  berkaitan dengan       rumusan dan tujuan  penelitian. Observasi  dilakukan  sebanyak  dua  kali,   yakni  pada  siklus  pertama  dan   siklus  kedua. Dalam pengumpulan data ini,  peneliti bertindak sebagai pengamat  penuh. Peneliti tidak terlibat dalam proses pembelajaran. Data dalam penelitian  ini dianalisis dengan  analisisis  kualitatif,  yaitu  suatu  teknik pemaparan  data  sesuai  dengan  hasil temuan  di  lapangan  yang  dinyatakan  dalam pernyataan  ver bal. Dalam penelitian ini analisis  data dilakukan dengan  berpedoman  pada hal-hal sebagai berikut:
(1)  Untuk mengetahui kemampuan siswa memahami unsur - unsur  pembentuk cerita indikatornya adalah :
a.  siswa  dapat  menyebutkan  unsur - uns ur  pembentuk  cerita yang meliputi  :  tema, alur , setting, tokoh dan penokohan, dan cara pandang pengar ang dengan menunjukkan kalimat -kalimat yang mendukung pernyataannya;
b.  sebagian   besar   siswa   (75%) telah   dapat   menyebutkan   unsur -unsur pembentuk cerita dengan menunjukkan kalimat-kalimat yang mendukung pernyataannya.
(2)  Untuk    mengetahui    kemampuan    siswa    memahami    nilai-nilai    yang
terkandung dalam bacaan cerita indikatornya adalah : 
a.  siswa dapat menyebutkan nilai-nilai yang terkandung dalam bacaan
cerita   dengan   menunjukkan   kalimat-kalimat   yang   mendukung
per nyataannya;
b.  sebagian besar sis wa (75% ) telah dapat menyebutkan nilai- nilai yang
ter kandung dalam bacaan cer ita dengan menunjukkan kalimat -kalimat yang
mendukung pernyataannya.
(3)  Untuk mengetahui kemampuan  siswa dalam memberikan tanggapan 
indikatornya adalah  : 
a. siswa dapat memberikan tanggapan s ecar a tertulis terhadap isi cerita beserta alasannya;
b.  siswa dapat menuliskan tanggapannya dengan       bahasa yang runtut dan mudah dipahami. Penelitian  ini  dilakukan  dengan  tahapan-tahapan  :  ( I)  persiapan,  ( 2)  pelaksanaan,
(3) pemantauan, dan (4) ref leksi. Keempat tahap tersebut dipaparkan sebagai berikut: 
1.  Tahap Persiapan
Pada  tahap  ini  dilakukan  identif ikasi  ma salah.  Mas alah  diidentifikasi  di sekolah  pada  saat  pembimbingan praktik  pengalaman  lapangan  bagi  mahasiswa    PGSD dan wawancara dengan guru pamong. Hasil identifikasi adalah sebagai berikut: ditemukakan    kenyataan    bahwa    siswa    kelas    IV    belum    dapat  memberikan tanggapan pada cerita yang dibaca;
(b)    pembelajar an    sastra   kur ang   menekankan    pada    kegiatan  apresiasi sastra. Dari  hasil  identifikasi  masalah,  selanjutnya  disusun  rancangan  perbaikan
perabelajaran  apresiasi  sastra  dengan  pendekatana  area  isi.  Rancangan  tersebut  dibuat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(a)     rancangan pembelajaran  diperuntukkan  bagi  siswa  kelas  IV  SD  dengan  demikian tujuan pembelajaran har us berpedoman pada GBPP kelas IV pula;
(b)    dalam  pelaksanaannya,  pembelajaran  diawali  dengan  menyuruh  siswa  membaca sebuah  cerita  anak-anak,  mengar ahkan  siswa  menemukan  unsur- unsur pembentuk  cerita,  mengar ahkan  siswa  menemukan  nilai-nilai  yang  ter kandung dalam bacaan cerita, dan  mengarahkan  siswa  untuk  dapat member i  tanggapan secara tertulis atas isi cerita.
(c)     satuan r encana pembelajar an  (RP) apresiasi      sastra  dengan  pendekatan area isi disusun bersama-sama  antara peneliti dan  guru kelas.
2.  Tahap Pelaksanaan 
Setelah  rencana  perbaikan  pembelajaran       disepakati  oleh  guru  dan   peneliti,  selanjutnya  dilaksanakan    tindakan          sebagai  upaya  pemecahan   masalah.  Tahap pelaksanaan  ini  dilakukan  dalam  konteks  pembelajaran  di  kelas.  Rincian  kegiatannya adalah sebagai berikut:
(a)     guru    membuka    pelajaran    dengan    menyampaikan    tujuan pembelajaran   dan  penjelasan      tentang      kegiatan    yang    akan  dilakukan  oleh  siswa  selama mengikuti  pr oses  pembelajar an. Kegiatan ter sebut  meliputi :  kegiatan  membaca cerita,  kegiatan  pencar ian  unsur - unsur   pembentuk  cer ita,  kegiatan  pencarian nilai- nilai  yang ter kandung  dalam  cerita,  dan  kegiatan member  tanggapan  secara tertulis atas isi cerita.
(b)    guru  membimbing  dan  mengar ahkan  siswa  dalam  menemukan  unsur-unsur  pembentuk     cerita,     nilai-nilai     yang   terkandung dalam  cerita,  dan  member i tanggapan secara ter tulis atas isi  cerita;
(c)    guru    mengajukan    beberapa    pertanyaan    berkaitan   dengan  kegiatan    yang   telah   dilakukan   siswa,   meliputi   kegiatan pencar ian uns ur -uns ur  pembentuk cer ita,  kegiatan  pencar ian nilai-nilai  yang ter kandung dalam cerita, dan kegiatan member tanggapan tertulis isi cerita;guru   menyimpulkan   pelajaran   dan   memberi   tugas   untuk melakukan kegiatan  apresiasi   bacaan  cerita  sesuai   dengan  minat siswa.
3.  Tahap Pem antauan
Pemantauan  dilakukan  untuk  mengetahui  kendala -kendala  dan  kekurangan-kekurangan  yang  muncul  selama  berlangsungnya   proses   pembelajaran  apr esiasi  sastra dengan  pendekatan  ar ea  isi. Juga  untuk   mengetahui  apakah hal-hal  yang sudah  berjalan telah sesuai dengan  semestinya.
4.  Tahap Ref leksi
Tahap  ini  dimaksudkan  untuk  mencari        upaya  perbaikan  dari   kekurangan- kekur angan yang muncul dalam  pr oses pembelajaran apresiasi  sastr a  dengan pendekatan area   isi.  Dari  ref leksi  ini  dilakukan  kegiatan  terapi  ulang.  Melalui  kegiatan  ter api ulang  dihar apkan  diper oleh  gambaran  kegiatan  pembelajaran  apr esiasi  yang  dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sisw a ter hadap karya sastr a di sekolah das ar.         
Dalam  penelitian  ini digunakan instrumen berupa  alat pemandu  pengumpul  data dan pemandu  analisis  data. Alat  tersebut  berupa  pedoman  analisis  data  dan  hasil  catatan pengumpulan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan disajikan per siklus.  
1.   Siklus Pertama 
Pelaksanaan  tindakan  kelas  dengan  tuj uan untuk  meningkatkan  kemampuan
mengapr esiasi bacaan cer ita siswa kelas IV SD, diawali dengan  penyajian pembelajaran
apresiasi s astr a di kelas dengan menerapkan pendekatan area isi. Setelah  dilakukan  tindakan  berupa  penerapan  pendekatan  area  isi  dalam pembelajar an  apresiasi  sastra  dengan bacaan  cer ita  berjudul  "Amelia"  (1997)  kar ya
Norma R.V. Z diperoleh hasil sebagai berikut.
a.    Kemampuan Siswa dalam Menemukan Unsur-Unsur Pembentuk Cerita       Kemampuan  isiswa  dalam  menemukan  unsur- unsur  pembentuk  cerita,  setelah dilakukan  tindakan  pada  siklus   I,  pada  umumnya  siswa  dapat  me  nyebutkan  siapa tokohnya,  bagaimana  watak  masing-masing  tokohnya,  dimana  s ettingnya,  bagimana alur   cer itanya   ,   dan  ba gaimana  sudut  pandang  pengarangnya.  Siswa  pada  umumnyabelum dapat menyebutkan salah  satu unsur  pembentuk cerita, yaitu tema. Hal ini tampak pada salah satu  hasil pekerjaan  siswa berikut ini. Unsur -unsur pembentuk cerita "Amelia" adalah :
1)   Tokohnya       : 
a.  Amelia
b.  Susi
c.   Arini

2)  Watak Tokohnya    : 
a.   Amelia berwatak baik
b.  Susi berwatak jahat
c.  Arini berwatak baik
3)  Setting cerita  :
a.   Sekolah Amelia
b.  Rumah Amelia (Malang)
c.  Jakar ta
4)  Alur Cerita  : 
-   Maju
-    Dimulai dengan perseter uan antara Amelia dan Susi
-    Susi meninggal dunia karena sakit
-    Amelia menemukan pengganti Susi pada diri Arini
5)  Sudut Pandang Pengarang : Pengar ang ada di luar cer ita
6) Tema Cerita : .....? (siswa tidak dapat menjawab)  Dari  data  tersebut,  diperoleh  kenyataan  bahwa  siswa  belum  dapat  menemukan  tema cerita, hal ini terjadi pada hampir sebagian besar siswa.
b. Kemam puan    Siswa    dalam     Menemukan    Nilai-Nilai    yang   Terkan du ng dalam Bacaan Cerita.  Setelah  dilakukan  tindakan  pada  siklus  I,  pada  umumnya  sebagian  besar  s is wa belum  dapat  menemukan  nilai-nilai  yang  terkandung  dalam   cerita  "Amelia". Ketidakmampuan siswa dalam menemukan nilai-nilai dalam cerita "Amelia"  ini, diduga siswa  tidak  memahami  istilah  "nilai"   sehingga  hasil  pekerjaan  siswa  untuk  tugas menyebutkan nilai-nilai ini kosong.
c. Kemampuan Siswa Memberi Tanggapan Tertulis Pada Bacaan        Cerita 
Pada  umumnya  siswa  dapat  memberi  tanggapan   ter tulis  pada  bacaan  cerita   yang telah dibacanya. Namun demikian tanggapan  tersebut hanya dinyatakan  dalam kalimat-kalimat  pernyataan  yang  sangat  sederhana,  boleh  dikatakan  berupa   pernyataan  singkat, seperti tampak pada hasil pekerjaan  siswa berikut ini. 
a.  "Ceritanya bagus"
b.  "Ceritanya sangat menegangkan"
c.  "Saya menyukai tokoh Amelia" 
d.  "Saya kurang menyukai tokoh Susi". dsb
Dari  data  tersebut,  nyata  sekali  bahwa  kemampuan  menuliskan  tanggapan  perlu dibenahi  agar  siswa  dapat  membuat  pernyataan/tanggapan  dengan  kalimat  yang  agak lengkap.

HASIL ANALISIS DAN REFLEKSI SIKLUS I
Hasil  pelaksanaan  tindakan  siklus  I,  dianalisis  dan  direfleksi  dengan  guru  kelas yang hasilnya adalah sebagai berikut: (1)    siswa  belum  dapat  menyebutkan  tema  cerita,  hal  ini  diduga  karena  siswa      belum/tidak      memahami      istilah      "tema".        Untuk      itu,      perlu diber ikan  penjelasan  dengan  bahasa  yang  mudah  dipahami  oleh  siswa agar siswa dapat menemukan tema cerita;
(2) siswa  yang  tidak  dapat  menyebutkan    nilai -nilai    yang  ter kandung dalam  cerita,  diduga  juga  karena  siswa  tidak  memahami  istilah  "nilai". Untuk  itu,  per lu  adanya  penjelasan  yang  mendetail  ber kaitan  dengan istilah  kepada  siswa,  sehingga  siswa  dapat memahaminya  dan  dapat  menemukan nilai-nilai cerita pada bacaan yang diceritanya.
(3) siswa  yang  telah  dapat  mengemukakan  tanggapannya  atas               isi   cerita, perlu  dijelaskan  bahwa  tanggapan  akan  lebih  baik  bila  disertai  alasan, karena  dengan  demikian  siswa  telah  diar ahkan  untuk  dapat                membuat pemyataan  lebih  lengkap  dan  ini  jauh  lebih  baik  di  samping             juga   dapat melatih kemampuan mengungkapkan gagasan. Dari hasil analisis  dan ref leksi ini, akan  dipakai   sebagai pedoman  perbaikan  pada tindakan siklus II.
2.     Siklus Kedua 
Pelaksanaan  tindakan  siklus  II ini,  urutan-urutan  kegiatannya  tidak  jauh  berbeda dengan  urutan-urutan  tindakan  yang  dilakukan  pada  siklus  I,  hanya  saja  ada  tambahan penjelasan  mendetail  berkaitan  dengan  istilah  "tema"  dan  istilah  "nilai"  yang  perlu dipahamkan  kepada  siswa  sehingga  siswa  benar -benar  dapat  memahaminya  dan  dapat melakukan pencarian tema dan nilai- nilai pada bacaan cerita yang dibacanya. Di samping itu,  perlu  juga  dijelaskan  pada  siswa  agar  dapat  memberikan  alasan  pada  tanggapan tertulisnya  atas  isi  cerita  yang  dibacanya,  karena  dengan  demikian  akan  dapat  melatih
kemampuan berbahasa siswa. Has il  selengkapnya  setelah  dilakukan  tindakan  pada  siklus  I I  adalah  sebagai berikut:
a.       Kemampuan Siswa Dalam Menemukan Unsur-Unsur Pembent uk Cerita          Setelah  dilakukan  tindakan  pada  siklus  II  dengan  cara  memberi  penjelasan  yang lebih  mendalam berkaitan dengan istilah "tema",  sebagian besar  siswa  (80%)  telah dapat menyebutkan unsur -unsur pembentuk cerita secara lengkap : ada tema,  tokoh, perwatakan, setting, alur , dan sudut pandang pengar ang. Masing- masing unsur pembentuk cerita yang disebutkan  didukung  oleh  kalimat-kalimat  dalam  bacaan  yang  menyatakan  gambaran masing-masing  unsur  cer ita.  Hal  ini  dapat  dilihat  pada  salat  satu  hasil  pekerjaan  siswa berikut ini.
Contoh :
Tema cer ita "Amelia" adalah per sahabatan. Kalimat pendukung tema tersebut adalah : 
"Sus ,  kamulah  sebenarnya  yang  pantas  disebut  sahabat.         Kamu  telah   mampu membangkitkan  aku  dari  kerapuhan  dan  rasa  minder.      Kamu  dengan  olok-  olokmu  dan ejekanmu,  sebenarnya  justru  mengajar i  aku  untuk        menghadapi  hidup   ini"  (Amelia, 1997:47). Dari  data  tersebut  siswa  telah  dapat  menemukan       unsur-unsur  pembentuk   cerita beserta alasannya.
b.  Kemampuan Sisw a      dalam Menemukan Nilai-nilai yan g Terkandung  dalam Bacaan   Cerita.  Sama  halnya  kemampuan  menemukan  tema  cerita,  kemampuan  siswa  dalam menemukan  nilai- nilai  cerita  dapat  dilakukannya  setelah  mendapat  penjelasan mendetail berkaitan dengan apa yangdimaksud dengan nilai. Sebagian  besar  sisw a ( 75% ) telah  dapat  menemukan  nilai -nilai  yang  terkandung  dalam  cerita  disertai  dengan kalimat-kalimat yang mendukung pemyataannya. Contoh : Salah satu hasil pekerjaan siswa.
Nilai yang terkandung dalam cerita "Amelia" adalah :
(1)  "Hidup adalah perjuangan"  perjuangan  Susi  melawan  penyakitnya  perjuangan  Arini  melawan  keserakahan tantenya perjuangan Amelia dalam melawan ketidakberdayaannya (2)  "Hidup har us disertai dengan kasih sayang" kasih sayang Susi pada Amelia walau dengan cara yang tidak lazim, yaitu dengan mengejek,  mengolok-olok  guna  membakar  semangat  hidup  Amelia  kasih  sayang Amelia pada Arini  dsb Dar i  data  tersebut  siswa  telah  dapat  menemukan  nilai -nilai  yang  terkandung dalam cerita beserta alasannnya.
c.  Kemam puan Siswa      Mem beri Tanggapan Tertulis Pada Bacaan Cerita  Setelah  dilakukan  tindakan  siklus  II,  sebagian  besar  siswa  (80% )  telah  dapat menuliskan  tanggapannya  dalam  bentuk  pernyataan  yang  lebih  lengkap  dengan pemberian  alasan mengapa ia  berpendapat demikian.  Contoh :  Salah  satu  hasil pekerjaan siswa. Cerita  "Amelia"  bagus,  menegangkan  dan  mendebar kan.      Lebih-Iebih  pada  saat Arini  disekap  perampok.  Wah,Seru!   Aku  baru  dapat         ber nafas  lega  manakala  Arini dapat membebaskan dirinya pada saat perampok itu telah  pergi ............. dsb. Dar i  data  ter sebut  siswa  telah  dapat  menuliskan  tanggapannya  dalam  bentuk kalimat yang lebih lengkap, dan ini akan sangat membantu melatih kemampuan berbahasa siswa.

HASIL ANALISIS DAN REFLEKSI SI KLUS II 
Setelah dilakukan  analisis dan  refleksi siklus II dengan  guru kelas hasilnya adalah sebagai berikut:
(1)    penjelasan  guru  tentang  tema  pada  siswa  dengan  bahasa  yang  mudah dipahami berdampak pada kemampuan siswa menemukan tema cerita;
(2)    penjelas an  guru  tentang  nilai-nilai  pada  siswa  dengan  bahasa  yang mudah  dipahami  berdampak  pos itif   pada  kemampuan  sis wa  dalam  menemukan nilai-nilai cerita;
(3) penjelasan  guru  akan  pentingnya  pember ian  alasan  pada  per nyataan siswa,  berdampak  positif   pada  kemampuan  ber bahas a  siswa.  Siswa dapat memberi alas an dengan bahasa yang lebih lengkap.

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan  uraian  yang  telah  dipaparkan  sebelumnya  dapat  disimpulkan beberapa hal sesuai dengan r umus an dan tujuan masalah penelitian sebagai  berikut:
(1) pembelajaran  apresiasi  bacaan  cerita  dengan  pendekatan  area  isi  yang menekankanpada    pemahaman/'penjelasan          akan   unsur-unsur pembentuk  cer ita  secara  mendalam  dapat  meningkatkan  pemahaman siswa  pada  unsur -unsur  pembentuk  cer ita  sampai    80%   dar i total jumlah siswa;
(2) pembelajaran  apresiasi  bacaan  cerita  dengan  pendekatan   area  isi  yang menekankan  pada  penjelasan  akan  nilai-nilai            secara  mendalam dapat meningkatkan  pemahaman    siswa  pada            nilai-nilai  yang  terkandung dalam bacaan cerita hingga 75%  dari  total jumlah siswa; 
(3)    pembelajaran  apresiasi  bacaan  cerita  dengan   pendekatan  area  isi  yang menekankan   pada   pentingnya    pemberian   alasan   pada   tanggapan 
(4)    ter tulis isi cerita dapat meningkatkan kemampuan bahasa tulis sis wa  hingga 80% dar i total jumlah siswa. Berdasarkan  hasil  temuan  di  lapangan  dapat  disarankan  kepada  guru  untuk menggunakan  pendekatan  area  isi  dalam  pembelajaran  apresiasi  sastra,  tentu  dengan memper hatikan  hal- hal  mana  yang  perlu  mendapat  per hatian  dan  mana  yang  tidak.
Sehingga dapat diperoleh kemampuan apresiasi sastra secara baik dan benar.

 DAFTAR PUSTAKA 
Aminuddin. 1995.  Pemahaman dan Penikmatan Bacaan Sastra bagi Anak SD  .
Malang: PPS IKIP Malang
Aminuddin. 2002.  Pengantar Apresiasi Karya Sastra .  Bandung: Sinar Baru Algesindo
Depdikbud. 1994.  Kurikulum Pendidikan Dasar: GBPP SD . Jakarta: Depdikbud
Effendi, S. 1993.  Bimbingan Apresiasi Puisi . Jakarta: Tangga Pustaka Alam
Goleman, D. 1995.  Emotional Intelegence (Kecerdasan Emosional).  Terjemahan      
Hermaya, T. 1996. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Holdaway, D. 1986.  Independece in Reading . Sydney: Ashton Scolastic
Huck, C., dkk. 1987.  Children Literature in the Elementary School.  Chicago: Rand McNally

Colledge Publishing Company